Mungkin sudah banyak yang tahu tentang cerita lambang negara RI Garuda Pancasila termasuk makna simbol-simbolnya. Tapi mungkin belum banyak yang pernah melihat desain awal Garuda dengan tubuh, tangan, dan kaki mirip manusia.
Ini karena Garuda adl salah satu tokoh legenda yang populer dalam wilayah peradaban kita, Peradaban Sindhu, Hindu, Hindia, Indus, Indo. Selain Indo-nesia, Thailand juga menggunakan Garuda sebagai lambang negara.
Garuda Thailand masih 'patuh' pada gambaran aslinya, sedangkan Garuda kita berdasarkan kompromi kemudian dimodifikasi, dihilangkan unsur humanoid dan asosiasinya dgn legenda asalnya, walaupun masih menggunakan nama yang sama.
Garuda berasal dari kata Sanskerta garuḍa, dari √gṝ = melantangkan, memangsa (habis). Legenda Garuḍa ini cukup kuno, dan mungkin masih ada hubungannya dgn legenda Phoenix. Ada yang bilang phoenix berasal dari kata phoinos 'merah darah'. Mengapa merah?
Garuḍa dikaitkan dgn dewa Agni (dan Sūrya) yg acap digambarkan berwarna merah. Konon saat lahir (keluar dr cangkang telurnya), Garuḍa langsung melesat ke angkasa. Sosok & kecemerlangannya dikira para dewa sbg api pralaya (kiamat) yg akan membakar semua makhluk.
Lantas kenapa Garuḍa digunakan sebagai lambang negara? Apa yang ingin disampaikan pendiri bangsa? Untuk men-dekode Garuḍa kita perlu membaca kisahnya. Kita bisa jumpai salah satunya di dlm Mahābhārata, buku 1 (Adi Parva), bagian 5 (Astika Parva).
Kisah Garuḍa diawali dengan kisah penting lainnya yaitu pengadukan 'lautan-susu' bersama-sama oleh para dewa (Sura) dan raksasa (Asura) untuk memperoleh amerta, untuk memulihkan kehidupan di planet bumi yg saat itu terancam punah.
Kisah ini cukup panjang dan layak memiliki utasnya tersendiri. Singkat cerita ketika diaduk, sebelum amerta bisa diperoleh, ada sekian banyak hal muncul—yang baik maupun buruk bagi kehidupan. Salah satunya, kuda ajaib Uccaiḥśravā.
Setiap kisah dan nama-nama tokoh dalam legenda kita sarat dengan makna spiritual. Kisah-kisah ini kerap digunakan untuk menyampaikan pengajaran. Membacanya kita perlu masuk ke dalam diri, krn semuanya itu sedang terjadi dlm diri kita.
Bagi yang pernah mampir di Bandara Suvarnabhumi di Bangkok, Thailand mungkin pernah melihat patung yang mengisahkan pengadukan 'lautan-susu' ini (samudra-manthan, Skt). Gambar: reddit.
Yes... kisah ini juga diukir di salah satu kuil Angkor Wat. https://twitter.com/ariefamarta/status/977869542327181312?s=21
Kalau diperhatikan dalam penggambaran sāmudra-manthan, ada seekor nāga yg digunakan sebagai tali pengaduknya, yaitu Vasuki (Basuki, Besuki). Bangsa nāga adl keturunan dari Dewi Kadrū dan Resi Kaśyapa.
Resi Kaśyapa juga menikah dgn kakak Dewi Kadrū, yaitu Dewi Vinatā. Keduanya adl putri Dakṣa.
Pada suatu hari, karena sedang bahagia, Kaśyapa berkata bhw ia akan mengabulkan apapun permintaan kedua istrinya itu.
Pada suatu hari, karena sedang bahagia, Kaśyapa berkata bhw ia akan mengabulkan apapun permintaan kedua istrinya itu.
Kadrū meminta seribu anak yg masing-masing perkasa. Vinatā hanya meminta dua anak saja yg lebih kuat dan cemerlang daripada anak-anak Kadrū. Permintaan keduanya dipenuhi. Kaśyapa kemudian pergi bertapa.
Kadrū melahirkan seribu telur, sedangkan Vinatā melahirkan dua telur. Dengan penuh kasih sayang mereka merawat telur-telur itu hingga suatu ketika seribu telur Kadrū menetas menjadi seribu ular nāga. Sedangkan dua telur Vinatā tak kunjung menetas.
Dalam hati keduanya saling bersaing. Melihat anak-anak Kadrū menetas, Vinatā tidak sabaran. Ia pun mulai 'mengopek' kulit salah satu telurnya.
Ternyata, sang anak memang belum terbentuk sempurna terutama bagian bawah tubuhnya. Perkembangan sang janin pun terganggu.
Ternyata, sang anak memang belum terbentuk sempurna terutama bagian bawah tubuhnya. Perkembangan sang janin pun terganggu.
Menjadi cacat, si jabang bayi yang belum siap menetas itu pun marah dan kutukan menimpa Vinatā krn ketidaksabarannya.
Vinatā dikutuk untuk hidup sebagai budak, dan untuk dibebaskan ia harus menunggu hingga putranya yg lain lahir dan membebaskannya.
Vinatā dikutuk untuk hidup sebagai budak, dan untuk dibebaskan ia harus menunggu hingga putranya yg lain lahir dan membebaskannya.
Setelah melepas kutukan, si anak terbang ke angkasa. Ia dikenal sebagai Aruṇa. Kita melihatnya setiap fajar. Aruṇa juga dikenal sebagai sais kereta Dewa Sūrya.
Waktu berlalu. Setelah peristiwa pengadukan 'lautan-susu', kuda Uccaiḥśravā lahir. Suatu hari Kadrū bertemu dengan kuda tsb. Ia pulang, dan kemudian membuat berkata kpd Vinatā: "Kak, apa warna kuda Uccaiḥśravā?"
Vinatā sudah pernah mendengar tentang kuda ajaib itu, ia menjawab, "Putih. Menurutmu apa warnanya?" Vinatā kemudian mengajak bertaruh.
Kadrū menyanggupi. "Yang kalah harus mau menjadi budak yang menang. Bagaimana?" Vinatā sepakat.
Kadrū menyanggupi. "Yang kalah harus mau menjadi budak yang menang. Bagaimana?" Vinatā sepakat.
Vinatā sangat percaya bahwa jawabannya benar. Uccaiḥśravā putih dari kepala hingga ekor. Sudah banyak yg mengatakan itu kpdnya. Vinatā benar, namun Kadrū punya siasat licik.
Keesokan harinya, Kadrū meminta anak-anaknya untuk mengerubungi ekor Uccaiḥśravā sehingga nampak hitam ketika ia dan Vinatā datang untuk melihat sang kuda. Vinatā 'kalah'. Mulai saat itu ia harus rela menjadi budak adiknya.
Vinatā mewakili sifat kita yang tidak tekun, tidak sabaran, tidak percaya diri. Meskipun ia memiliki dua anak yang ditakdirkan memiliki kemampuan luar biasa, melihat orang lain kita minder. Karena itulah kita dgn mudah dijajah.
Kita tidak percaya dengan kemampuan diri, dan menganggap orang lain, budaya lain lebih superior. Padahal kita belum pernah menggali sendiri dengan tekun dan sabar. Sayangnya, kutukan Vinatā ini belum juga tuntas meskipun sudah 70-an tahun kita merdeka.
Cukup dulu, besok kita sambung lagi.
Subha-rātrī!
