ㅤJAKARTA, 2021:
https://abs.twimg.com/emoji/v2/... draggable="false" alt="📍" title="Ronde punaise" aria-label="Emoji: Ronde punaise"> Les Saisons



“Pak Satya itu⸻”
“Iya, lo denger ngga, sih⸻”
“⸻sama asistennya.”



Irene tidak paham soal desas-desus yang mengudara perihal pemilik dari restoran tempat ia bekerja. Pria itu kerap berlalu-lalang diikuti asistennya, terkadang melempar sapa dan senyum kepada karyawan lain.



Tak nampak ada sesuatu yang tidak beres darinya. Tapi siapalah Irene? Hanya seorang pegawai yang belum ada 3 bulan bekerja di bawah Satya.

“Memang Pak Satya kenapa?” ia bertanya kepada rekan kerja yang lain, tak sanggup membendung rasa ingin tahunya.



Selama ini Irene telah berjanji untuk tidak turut serta dalam kegiatan bergosip. Sayang, ia lebih penasaran soal si pemilik misterius ketimbang memegang kata-katanya.

“Gini,” jawab Ratih singkat sembari beri gestur lambaian tangan yang lemah.

“Ha?”



“Gay, gay,” desis Ratih tak sabar. Maklum, Irene jarang buka media sosial karena sibuk urus keluarga kecilnya. “Gue denger-denger, sih, dia sama asistennya.”

“Oh.” Lantas, Irene mengedikkan bahu. Ia tak tahu harus beri respon seperti apa. “Tapi beliau baik, kan?”



“Baik, sih⸻”

Sekelebat, Irene tangkap sosok yang tengah mereka bicarakan tengah berjalan mendekati kantor. “Pak Satya.”

Pria itu nampaknya punya kebiasaan muncul tanpa diundang, tanpa terduga pula. Kali ini, ia muncul membawa beberapa lembar kertas.



“Pagi, semua. Yang namanya Irene, ada?” Satu ruangan hening, canggung mengudara ketika sang tuan angkat suara.

Irene turut diam terpaku bersama rekan kerjanya yang lain, sebab ia tak pernah berbicara langsung dengan si pemilik restoran.



“Pagi, semua. Yang namanya Irene, ada?” Satu ruangan hening, canggung mengudara ketika sang tuan angkat suara.

Irene turut diam terpaku bersama rekan kerjanya yang lain, sebab ia tak pernah berbicara langsung dengan si pemilik restoran.



Dipandanginya Satya yang menghela napas pelan. “Yang namanya Irene⸻”

“Eh.” Irene mengangkat tangan bak anak sekolah dasar yang tengah diabsen oleh gurunya. “Saya, Pak.”



Mendetakkan lidah tak sabar, Satya menunjuk Irene dengan helaian kertas yang digulung hingga jadi mirip pentungan. “Ke kantor.”

“Duduk.” Di ruangan Satya, Irene hanya meringis kecil ketika melihat sang tuan melemparkan tubuhnya ke sebuah kursi di balik meja.



“Kamu yang mau ambil cuti melahirkan, ya?” tanya Satya tanpa basa-basi.

Kini ia sadar, bahwa berkas berupa kertas yang Satya bawa-bawa sedari tadi adalah surat permohonan cutinya. “Iya, Pak. Ada apa, ya?”



Akankah Satya menolak pengajuan cutinya? Pria itu enak dipandang, tetapi ada sesuatu yang buat Irene berpikir bahwa Satya adalah sosok yang membawa marabahaya. “Cuma dua bulan?”

Pilihan kata ‘cuma’ mengirim kerutan kebingungan ke dahi Irene. “Iya, Pak. Dua bulan.”



“Ngga mau ambil 3 bulan? Kasihan anakmu, lho. Paid leave, kan?”

“Iya, tapi⸻”

“Bikin surat lagi, 3 bulan. Saya approve sesegera mungkin.” Kini ada senyum samar hiasi wajah Satya. Lagi-lagi, Irene tertegun dibuatnya. “Kita ngga kekurangan pegawai, kok.”



Kini Irene sadar apa alasan mengapa rekan-rekan kerjanya berkata bahwa sesungguhnya, Satya tak benar-benar butuh restoran untuk hidupi dirinya sendiri. Mungkin pemilik restoran itu paham soal sulitnya jadi orang tua.



Itu kalau rumor yang beredar soal pria itu ternyata salah.

“Baik, Pak. Saya akan berikan suratnya kepada Bapak sehabis makan siang,” tutur Irene pelan, kini bisa tersenyum setelah ia tahu duduk perkaranya. “Terima kasih, Pak.”



Satya lambaikan tangannya sekilas, kembali sibuk dengan ponselnya. “Santai. Kamu bisa kembali ke kantor. Nanti suratnya kasih ke Ratih, biar dia yang antar ke saya.”



Sesampainya Irene di ruangan kantor, ia lantas berbisik kepada Ratih, “Pak Satya kasih gue cuti 3 bulan. Baik banget, ya?”

“Tuh,” Ratih bergumam, “kayanya emang tuh orang ngga butuh kita-kita buat kasih dia duit, deh.”

Irene hanya sanggup keluarkan napas pelan.



Memang, sekali punya prasangka, akan sulit sekali untuk hilang.



ㅤ・ㅤ・ㅤ・ㅤ・



Entah mengapa Irene mau-mau saja ditugaskan untuk ambil supply bahan makanan di ruang belakang. Padahal, ia kan tidak bekerja di dapur? Bohong betul Satya, apabila ia bilang restoran ini tidak kekurangan pegawai.



Ada suara-suara samar yang datang dari balik pintu besi yang memisahkan bagian restoran dengan gudang. Irene berjingkat, membuka pintu itu sedikit...

...dan menemukan Satya dengan sesosok pria yang terperangkap di antara sang tuan dan tembok.



Raut wajah ketakutan pria asing itu nampak jelas meski Irene hanya melihatnya dari celah pintu. Dan Satya?

Pria itu nampak tenang dengan sebatang rokok terselip di bibirnya. Kilau matahari yang tertangkap oleh bilah pisau dalam genggamannya membuat Irene terkesiap.



“Lo pergi sekarang, kelarin urusan lo.” Irene jago membaca bibir dan itulah yang kurang lebih Satya katakan kepada si pria ketakutan. “Jangan balik sebelum beres.”

Irene pikir, rasa takut si lelaki asing menular kepada dirinya.



Si pemilik restoran tidak mengalihkan pandangan, hanya menjatuhkan rokoknya ke lantai semen dan mematikan bara api dengan sepatunya. Pisaunya tak lagi terlihat dan Irene bergeser agar dapat melihat dengan jelas⸻



“Udah selesai ngintipnya?”

Irene menutup mulutnya untuk menahan pekikan terkejut yang nyaris keluar. Otomatis ia ambil langkah mundur ketika Satya mendorong pintunya terbuka dengan raut wajah tanpa ekspresi, tangan mengancingkan jasnya kembali.



“Pak Satya⸻”

“Irene, bukan?”

Yang dipanggil hanya sanggup anggukkan kepala. Jantungnya seolah akan loncat dari tenggorokan akibat teror yang terpancar dari pandangan pria itu. “Iya, Pak. Pak, saya minta maaf⸻”



Ada lima lembar uang seratus ribu disodorkan ke arahnya. Tatapan Irene jatuh ke helaian uang merah sebelum berpindah ke Satya. “Anggap aja kamu ngga pernah lihat yang barusan, ya?”



Suara pria itu lembut di telinga, aroma parfum maskulin yang bercampur dengan tembakau menguar darinya ketika ia mencondongkan tubuh ke arah Irene, “Jangan kasih tahu teman-teman kamu juga.”

Kedua tangan gemetar menyambut uang tersebut pada akhirnya.



Meski ketakutan setengah mati, Irene menyadari bahwa sepertinya Satya kerap melakukan hal-hal seperti ini.

“Kalau kamu penasaran,” tambah pria itu tiba-tiba, membuat jantung Irene makin tak karuan, “saya bukan gay.”



Dengan itu, Satya meninggalkan ruang belakang tanpa melihat kembali ke arah Irene. Meninggalkan Irene dengan punggung yang masih bersandar pada tembok dan detak jantung yang masih amburadul karena rasa takut dan yang lain.



ㅤRAMPUNG.

You can follow @ANGANUMATA.
Tip: mention @twtextapp on a Twitter thread with the keyword “unroll” to get a link to it.

Latest Threads Unrolled: