Kalo ga pake cara sederhana kyk ‘beli saham perusahaan yg produknya lo pake’ trs gimana ngajarin masyarakat milih saham individual?

Trus kalo gitu kapan masyarakat bisa ‘melek’ pasar modal? Jalan di tempat, ga maju2 dong?

Well, that’s ‘cara’ is answer to the wrong question.
Saya ulang lagi deh, apa yg saya tulis di @KontanNews tahun 2015.
Yang dipicu oleh berita di bawah ini:
Kemudian, kenapa berbeda menyikapi postingan IG @radityadika yg viral, memberikan 11 lot saham dua emiten yg ‘produknya digunakan’ kepada putrinya yg berulang tahun ke-2, sebagaimana di bawah ini:
Mencari ‘cara sederhana’ agar lebih banyak yg bisa milih saham, adalah jawaban utk pertanyaan yg salah. Ilustrasinya kira2 seperti meme inilah:
Sambil nunggu jadwal zoom meeting, kita lanjut ya.

Dari spektrum kelas aset utama, urutan risikonya seperti ini:

Kas - Obligasi - Saham

Kita asumsikan, return jg mengikuti urutan yang sama -> jadi kenapa saham (seharusnya) memberikan return yg tinggi, karena saham berisiko.
Kas/setara kas = pasar uang = money market

Obligasi = pendapatan tetap = bond market

Saham = equity

Intinya & #39;exposure& #39;

Exposure ke kas bisa repo, FRAs, options on Libor.
Exposure ke bond bisa long futures, receive fixed.
Exposure ke saham bisa futures, fund, options.
Nah untuk exposure untuk dua kelas aset terakhir, merupakan domain pasar modal. Ke2nya memberi return & risiko yg lebih tinggi relatif thd pasar uang.

Bagi mereka yg punya tujuan keuangan jk pjg, tentu outlet ini menjadi penting dalam berinvestasi, agar dapat melawan inflasi.
Namun return hanya satu dari 4 faktor dlm plan mencapai financial goals. 3 yg lain: savings rate (jumlah yg ditabung/disisihkan), horizon & tentunya goal itu sendiri.

Ke-4 itu saling terkait, sesuai prioritas, ada trade-off. Return yg sedang, dikompensir oleh faktor lain.
Meningkatkan savings rate, memperpanjang horizon (menunda goal), atau menyesuaikan (scale down) goal tsb, dapat dilakukan utk kompensasi dari return yg lebih rendah.

Namun return yg lebih rendah tsb juga memberikan & #39;keuntungan& #39; yaitu risiko yg juga lebih rendah.
Nah, spektrum risiko ini penting. Ga semua risiko sama. Bukan berarti bahwa jika risiko PU<PT<S, maka risiko dari PU ke PT ke S hanya masalah scalling saja.
Sebagaimana Bernstein (2012), ada risiko cetek (shallow) ada risiko dalam (deep risk).
Fluktuasi harga adalah contoh shallow risk, karena umumnya adalah unrealised.

Sementara kebangkrutan, delisting emiten adalah deep risk risk karena dampak pada kehilangan uang, permanent loss of capital, realised loss.

Dari tiga aset di atas, saham memiliki kedua risiko tsb.
Cara untuk meminimalisir dgn diversifikasi. Entah dalam satu kelas aset atau dgn berbagai aset.

Ini penting karena bahkan fluktuasi harga walau termasuk shallow risk, dapat membuat org yg tidak cocok melakukan tindakan tdk tepat dgn menjual (realisasi loss) di waktu yg salah.
Org yg tdk cocok?

Iya, yg tdk selaras kemauan dan kemampuan menanggung risiko. Willingness to bear risk v. Ability to bear risk (risk capacity). Yg pertama subyektif, sementara ATBR itu obyektif: dari net wealth & constraints (terutama kebutuhan likuiditas).
Keduanya harus selaras. Yg kacau kalau kemampuan menanggung rendah, namun kemauan (entah sadar atau tidak) menanggung risiko tinggi. Ini harus disesuaikan.

Kembali ke awal, di sini bedanya Pegawai Pabrik & @radityadika: kemampuan menanggung risiko Ability To Bear Risk (ATBR).
Jadi kalo merujuk pada kata-kata Ibu Dwi Lestari di berita Kontan di atas:
(1) uang tabungan
(2) 15 tahun bekerja
(3) tdk paham pasar modal

Karena ingin berlindung dari inflasi (4), namun berpotensi ikutan trading (5) dan membeli saham perusahaan sendiri (6).
Dari profiling tsb, kalau pandangan saya beliau termasuk yg tidak pas utk berinvestasi atau diencorage berinvestasi pada kelas aset saham melalui saham individual. ATBR dan kebutuhan likuiditas (1 & 2)

Karena risiko yg telah disebutkan di atas: deep & shallow risk.
Saya tidak mengenal atau tahu profiling dari @radityadika, tapi saya yakin (lebih dari 90%) kalau profil kemampuan menanggung risiko jauh lebih besar dibandingkan Ibu Dwi Lestari.

Tapi apakah Ibu Dwi Lestari tdk boleh memiliki aspirasi? Tentu boleh, dan itu guna pasar modal.
Nah dalam hirarki goals seperti gbr di bawah, ada tiga tingkatan goals: basic needs, wants dan aspirational.
Yg pertama dicapai dgn safe instruments, kedua dgn exposure ke market risk (risk premium over safe) dan ke-3 dgn risk over market risk (higher risk).
Dari sisi prioritas, goals 3 karena aspirasi bisa tercapai/tidak ga jadi masalah. Namun 1 & 2 memiliki prioritas tinggi, apalagi kalau horison memendek (umur menua).
Nah yg ke-2, contoh Ibu Dwi, alih2 ke saham individu, sebaiknya ke equity market melalui diversified fund.
Makanya di 2015 saya menulis dgn pokok2 sbb:
(1) Ide awal presiden @jokowi adalah mendorong partisipasi masyarakat ke pasar modal melalui reksa dana. Karena beliau paham bahwa dgn investasi mampu mengatasi risiko inflasi.
(2) udah bener tindak lanjut mahasiswa ke reksa dana, tapi tiba2 ada berita 10,000 buruh tekstil membuka rekening efek. Malah & #39;diarahkan& #39; untuk nantinya trading.
(3) exposure ke saham sebagai aset tidak harus trading, malah trading bisa counterproductive.
(4) karena ATBR dari buruh kurang sesuai. Selain bahwa trading, secara empiris umumnya tdk berakhir baik.
Alih-alih berinvestasi mencapai tujuan, malah rugi kemudian kapok. Setelah itu beralih ke outlet lain yg dianggap aman, dan akhirnya malah terpapar risiko inflasi.
Pertanyaan terbesar saya saat itu adalah, kenapa ide promosi yg awalnya melalui reksa dana kemudian menjadi (hingga sekarang) fokus ke investasi pada saham individual?

Itu kenapa di awal bilang kalo cari cara terbaik mengajar utk milih saham adalah jbn atas pertanyaan yg salah.
Karena pertanyaan yg lebih pas mungkin:
Bagaimana agar pasar modal dapat menjadi outlet bagi kebutuhan untuk kalangan seperti Ibu Dwi Lestari, melalui vehicle investasi yg efisien, murah dan mudah?
Ide saya saat itu seperti ini:
Jadi dengan thread ini, mudah-mudahan jelas kenapa respon saya terhadap pertanyaan seputar postingan @radityadika yg memberikan hadiah saham kepada putrinya seolah tidak konsisten dgn pandangan saya biasanya yg tidak favour kepada trading/investasi saham individual.
You can follow @tigorsiagian.
Tip: mention @twtextapp on a Twitter thread with the keyword “unroll” to get a link to it.

Latest Threads Unrolled: