Science telah membawa manusia ke pencapaian teknologi yang luar bisa hanya dalam waktu sekitar 300 tahun.

In a nutshell, apa yang sebenarnya jadi resep rahasia modern science? 🤔
Pertama, science memiliki alat validasi yang sederhana tapi efektif dalam menyelesaikan perbedaan pendapat : observasi.

Anda tidak percaya ada gravitasi? Coba saja lempar barbel ke atas kepala anda (jangan beneran dicoba ya). Perselisihan bisa selesai dengan pembuktian.
Ini kedengaran sepele, tapi belum dipahami sampai sekitar 1590 Galileo lakukan eksperimen legendaris : pisa experiment.

Ia pegang dua benda dengan berat yang sangat berbeda. Mayoritas percaya benda berat jatuh duluan, Galileo menduga jatuh bersamaan.
Cara buktikan? Ya lakukan eksperimen, observasi.

Berdasarkan kisah legendaris ini, Galileo jatuhkan keduanya dari menara pisa, dan terbukti jatuh bersamaan (saat itu Newton belum formulasikan hukum gravitasi).

Galileo benar & observasi empiris tetap jadi dasar science modern.
Kedua, bisa diuji.

Karena syarat mutlak validasi adalah observasi empiris, maka segala sesuatu yang tidak bisa diuji tidak penting bagi science.

Bukan salah atau benar, hanya nggak penting aja, tidak scientific, jadi bisa diabaikan atau selamanya jadi hipotesis semata.
Pada titik ini, perlu dibedakan antara “keterbatasan pengujian karena kemampuan instrumen” dengan “tidak bisa diuji sama sekali”.

Prediksi Einstein soal gravitational wave, saat diajukan, tak bisa dibuktikan secara empiris. Baru 100 tahun kemudian bisa karena kita makin canggih.
Beda dengan klaim anak indigo:

“saya melihat awan gelap dan suara gemuruh, sesuatu yang gawat akan terjadi”,

atau

“disana ada kuntilanak, cuma saya yang bisa rasakan, udah percaya aja”

Untuk bisa diuji secara scientific, sesuatu harus punya klaim presisi dan bisa dibuktikan.
Pengabaian science kepada hal yang tak bisa diuji macam anak indihome ini membuat science bergerak ke arah produktif.

Mengabaikan hal yang tak bisa diuji, fokus dan terus berkembang pada hal yang bisa diuji.

Makanya abaikan klaim hantu-hantuan begitu lah, biar produktif.
Ketiga, setia kepada metode science, bukan otoritas, tokoh, bahkan kesimpulan scientific terdahulu sekalipun.

Science (sebagai metode) itu objektif, scientist (sebagai manusia) tidak. Hanya dengan setia kepada metode, ego dan subjektivitas bisa dipaksa tunduk hasil observasi.
Scientist boleh punya hipotesis, tapi semua patuh pada iron rule :

“if they are to participate in the scientific enterprise, they must uncover or generate new evidence to argue with”

Singkatnya, scientist seperti pemain bola yang fokus latihan, bukan protes aturan melulu.
Karenanya, progress terakumulasi dan science mostly tidak terpecah menjadi fraksi politis (tentu ada celah kasus per kasus, tapi secara major tidak).

Bahkan natural philosopher tidak punya kemewahan ini, karena masih ribut aturan main, yang sialnya tak bisa / mau divalidasi.
4. Keempat, hasil eksperimen yang terakumulasi.

Satu-satunya cara bisa ikut iron rule dan jadi scientist yang diakui adalah dengan melakukan dan mencatat hasil observasi atau eksperimen, bisa untuk memperkuat atau membantah teori lama.
Dibandingkan filsuf (dan teolog?) yang berdebat bahkan soal dasar epistemologi yang digunakan, scientist maju terus dengan hasil eksperimen dan observasi yang kaya.

Teori lama diinjak teori baru, semakin maju, berkat informasi empiris yang melimpah ruah.
Kelima, berfokus pada penjelasan atas hasil pengamatan, bukan underlying nature secara metafisik.

Science sangat pragmatis : ini hasil observasi, ini dugaan penjelasan saya, ternyata match, yaudah setidaknya dari percobaan ini terbukti. Kenapa bisa begitu? Ya nggak tau.
Hukum gerak Newton justru efektif karena ia abaikan banyak hal.

Kok benda punya massa punya gravitasi? Ya nggak tau, pokoknya jni rumusnya, and it works. Titik.

Baru setelah Einstein kita tahu soal fabric spacetime, tapi siapa peduli? Tanpa tau, toh Newton bisa formulasikan.
Rumus matematika dalam fisika, yang kadang terasa metafisik kalau penjelasannya diromantisir, sebenarnya tak lebih dari penjelasan atas hasil observasi.

Ia begitu karena hasil observasi begitu. Kenapa dia begitu, kita nggak tau, dan science mostly nggak terlalu peduli juga.
Wait, tapi bukankah bisa jadi belum tentu semua hal yang ada itu bisa diobservasi dan diuji?

Bisa iya, bisa tidak. Kalau tak bisa diuji, who knows?

Science kan tidak klaim bisa menjawab semuanya, toh tidak scientific juga bukan berarti terbukti salah (pun tak terbukti benar).
Misalnya ada “kuda berkepala buaya bersayap kupu-kupu” yang hidup dan exist di luar universe (as we know it). Kalau tak bisa diobservasi dan diuji, bagaimana cara bedakan antara :

“makhluk itu ada tapi tak bisa diobservasi dan diuji”

dengan

“makhluk itu tidak ada”?
Jawabannya ya nggak tau, karenanya itu tidak scientific. Ada ya bagus, enggak juga nggak apa-apa.

String Theory dan Multiverse juga masuk ke ranah ini (tak bisa diuji), walau kerangka hipotesisnya tentu lebih solid daripada “kuda berkepala buaya bersayap kupu-kupu”.
Keenam, selalu terbuka kemungkinan salah.

Science itu selain pragmatis, juga terbatas. Ia tidak bercita-cita mencapai “kebenaran mutlak” (apapun itu definisinya).

Science hanya bisa menjanjikan “penjelasan terbaik atas hal yang sudah diketahui”.
Sebaik apapun hasil observasi dan eksperimen, kita takkan pernah bisa benar-benar presisi, akomodir seluruh variabel, dan menutup kemungkinan di masa depan akan ada instrumen dan pendekatan yang lebih baik.

Science itu justru humble banget, akui keterbatasan dan bisa salah.
Sebenarnya masih cukup banyak, tapi rasanya 6 hal ini sudah cukup mewakili.

Perlu diingat : science tidak intuitif. Kita harus berjuang dan berlatih untuk bisa konsisten berpikir scientific.

Indra dan otak kita tidak berevolusi untuk selalu proses informasi dengan reliable.
You can follow @adriandanarw.
Tip: mention @twtextapp on a Twitter thread with the keyword “unroll” to get a link to it.

Latest Threads Unrolled: