Kalau penasaran soal KRI Nanggala (402) dan istilah-istilah teknis yang muncul di pemberitaannya, coba baca thread berikut.

Ada 3 tahapan/fase utama yang di deklarasikan ketika ada kapal selam yang hilang kontak, yaitu:

SUBLOOK - SUBMISS - SUBSUNK

Gimana penjelasannya?
SUBLOOK - fase awal kalau sub hilang kontak, surface assets/other sub bakalan nyoba ngontak/estabilishing contact dengan sub yang hilang

Disini kapal selam yang hilang kontak akan diberi status DISSUB (Distressed Submarine) kapal selam yang berada dalam kondisi distress/darurat
SUBMISS - kalau kapal selamnya dipastikan hilang, tapi diyakini belum tenggelam, user subnya bakalan declare sub is missing. di level ini lapor ke ISMERLO, dan ISMERLO akan ngerilis alert ke negara terdekat yang punya aset sub rescue
Apa itu ISMERLO? ISMERLO = International Submarine Escape and Rescue Liaison Office, adalah organisasi dibawah NATO, yang siap membantu mengkoordinasikan bantuan untuk mencari dan menyelamatkan kapal selam yang berada dalam masalah/mengalami insiden
https://ismerlo.org/ 
Ketika menerima alet SUBMISS dari negara operator kapal selam, ISMERLO akan merilis alert ke negara terdekat yang bisa memberikan bantuan untuk mencari dan menyelamatkan kapal selamnya
Pada kasus KRI 402, ISMERLO merilis alert ke seluruh dunia, yang dijawab oleh negara-negara NATO, dan negara-negara ASEAN, termasuk Singapura yang mengirim kapal penyelamat kapal selam (Submarine Rescue Vessel) MV Swift Rescue & Malaysia yang mengirim MV Mega Bakti
MV Swift rescue membawa Deep Submergence Rescue Vehicle (DSRV) yang bisa digunakan untuk menyelamatkan kru distressed submarine. Masalahnya rata-rata DSRV memiliki batas kedalaman maksimal hingga 600-650 meter.
Terlepas dari alert ISMERLO, Indonesia sebenarnya sudah memiliki beberapa perjanjian kerjasama penyelamatan kapal selam dengan Singapura, Malaysia, Australia, Vietnam, Korea Selatan, Jepang, dan Amerika Serikat
Diluar alert ISMERLO, India mengirimkan Submarine Rescue Vessel (SRV) SCI Sabarmati. Australia mengirimkan Frigate HMAS Ballarat & Tanker HMAS Sirius. Sementara Amerika mengirimkan 1 unit pesawat pemburu kapal selam Boeing P-8 Poseidon.
Tawaran bantuan pencarian & penyelamatan juga datang dari Jerman, Perancis, & negara-negara NATO lainnya. Korea Selatan, Thailand, & negara-negara lain juga menawarkan bantuan secara terbuka
Dari sekian banyak aset negara lain yang diperbantukan, HMAS Ballarat jadi kapal pertama yang tiba di perairan Bali karena lokasinya paling dekat, dan Frigate ini punya kecepatan paling tinggi dibandingkan dengan kapal-kapal lainnya
Sementara Boeing P-8 Poseidon milik US Navy jadi pesawat asing pertama yang datang untuk membantu pencarian. P-8 Poseidon & HMAS Ballarat datang berbarengan pada hari Jumat malam
Sayangnya, sejak hari pertama, ada indikasi kuat jika KRI Nanggala (402) mengalami distress dan kedalamannya terus turun hingga 700 meter. Ini merupakan crush depth, atau batas dimana lambung kapal selam dijamin hancur karena besarnya tekanan air laut di kedalaman tersebut
Pada dasarnya semua kapal selam memiliki design depth. Strukturnya dirancang untuk menahan tekanan air di kedalaman tertentu. Dan rata-rata memiliki batas maksimum di angka 300-400 meter. Lebih dari itu, lambungnya dijamin hancur karena tekanan air yang begitu besar
Sejak hari pertama, telah ditemukan adanya oil slicks, dan serpihan-serpihan termasuk torpedo tube liner (bantalan torpedo yang dipasang di tabung torpedo), penemuan ini mengindikasikan jika lambung kapal telah pecah
Terkait ketersediaan oksigen, kemampuan produksi oksigen pada kapal selam diesel elektrik seperti Nanggala juga terbatas. Dalam keadaan distress, apalagi jika sistem elektriknya terganggu, maka kapal selam tidak akan bisa menghasilkan oksigen dengan mesin elektrolisis.
Solusinya, kapal selam harus mengandalkan Oxygen Candle, yang akan menghasilkan oksigen ketika dibakar. Masalahnya, ketika tenggelam, Nanggala membawa lebih banyak orang dibandingkan dengan jumlah kru operasionalnya. Ini membuat konsumsi oksigennnya meningkat
Selain itu, faktor penting lainnya adalah kadar Karbondioksida (CO2). Dengan matinya scrubber, CO2 akan menumpuk dan menimbulkan CO2 poisoning yang bisa melumpuhkan awak kapalnya.
Masalahnya balik ke awal, mayoritas DSRV yang bisa dipakai untuk menyelatkan distressed submarine, hanya bisa beroperasi pada kedalaman maksimal 600-650 meter
Jadi, sekalipun ada keajaiban dan lambung kapal tetap utuh, tapi secara teknis hampir tidak ada harapan selamat bagi para kru, jika kapal selam mereka terjebak di kedalaman lebih dari 650 meter
Tahap terakhir dalam fase pencarian Distressed Submarine, adalah deklarasi SUBSUNK. Ini self-explanatory, the Submarine has been Sunk. SUBSUNK di deklarasikan apabila telah ditemukan bukti-bukti yang menguatkan jika kapalnya telah tenggelam/hancur
Habis SUBSUNK, terus pencariannya udahan?
Enggak. ISMERLO & aset negara lain tetap akan membantu jika negara pemilik kapal selam meminta untuk locating kapal selamnya sampai ketemu, kemudian dilanjut dengan proses Salvage (mengembalikan puing kapal selam ke permukaan)
Salah satu cara untuk menemukan subnya, adalah dengan sonar imagery, yaitu melakukan scanning dasar laut dengan menggunakan sonar khusus yang bisa menghasilkan citra 3D, atau dengan visual imagery via robot yang disebut Remotely Operated Vehicle (ROV)
Salvage ini bisa dilakukan dengan cara mengangkat kembali badan kapal selamnya ke permukaan, atau "mengambil" apapun yang mungkin tersisa dari puing-puing kapal selamnya. Entah berupa bagian vital kapal selam, atau jenazah awaknya (jika ada yang tersisa)
Salvagenya pake apaan? Memangnya bisa ngangkat kapal selam yang bobotnya 1.300 ton dari kedalaman 850 meter? Jawabannya: BISA. Sewa aja super heavy-lift crane vessel kaya trio Saipem 7000, Heerema Thialf, atau Heerema Sleipnir
Crane vessel kaya gini punya kapasitas daya angkat sampai 14.000 ton (Thialf) / 20.000 ton (Sleipnir). Biasa dipakai untuk ngurusin konstruksi sumur migas di kedalaman air lebih dari 3.000 meter. Dipake buat ngangkat badan kapal selam yang bobotnya cuma 1.300 ton? Enteng banget
Sekarang PR nya, tinggal locating/pinpoint titik hancurnya lambung Nanggala secara pasti. Untuk ini, diperlukan beberapa aset hidro-oseanografi, terutama kapal-kapal survey & deep sea rescue yang dilengkapi dengan sonar imagery untuk memetakan puing-puing di dasar lautnya
Insiden Nanggala ini sekaligus jadi tamparan keras buat policymaker kita. Kalau beli kapal selam baru, jangan lupa beli Submarine Rescue Vessel (SRV). Kalau udah beli SRV, jangan lupa beli DSRV. Dan above all, selalu lengkapi kapal selam kita dengan underwater telephone
PR lainnya di masa depan, adalah melengkapi aset fregat & korvet kita dengan kemampuan anti-submarine warfare (ASW) yang layak, banyak kapal kita yang sonarnya nggak kapabel untuk mendeteksi kapal selam yang menyelam sangat dalam
Meskipun judulnya anti-submarine warfare (peperangan anti-kapal selam), tapi fungsi ASW nyatanya juga berguna untuk mencari kapal selam yang telah mengalami distress/kondisi darurat. Jadi, punya kapabilitas ASW yang proper itu adalah sebuah keharusan.
Next, kayaknya harus bahas parameter desain sub. Apa itu test depth, safe operating depth, dan apa itu crush depth. Bagaimana parameter desain Type 209 (parent design Nanggala) jika dibandingkan dengan kapal lainnya, dan kenapa kedalaman lebih dari 500 meter itu sangat berbahaya
You can follow @faizfaizrahman.
Tip: mention @twtextapp on a Twitter thread with the keyword “unroll” to get a link to it.

Latest Threads Unrolled: