Bayangkan "saldo" sekaligus "pengeluaran" BPJS dibuat transparan, dibarukan tiap menit. Semua orang bisa lihat.

2021-04-23:

Hendra (pria, 71 tahun), Rp645.000.000, biaya cuci darah dan ventilator satu tahun

Ami (wanita, 20 tahun), Rp36.000.000,
operasi caesar lahiran anak ke-2
Bersamaan dengan itu, "saldo" dari "dana kas-bersama" BPJS ditunjukkan, tentu saja setelah dikurangi tiap "butir pengeluaran" dari tiap pasien yang ditanggung BPJS.

Lalu di bawah tiap item "pengeluaran", semua WNI bebas berkomentar untuk pengeluaran itu. Ada tombol like-dislike.
Akan muncul komentar panas, "Maaf Pak Hendra, tapi umur manusia itu 70 tahun aja cukup. Daripada kas-bersama defisit buat ngasih umur tambahan ke Bapak, mendingan diterima saja takdirnya."

"Yaelah, si Ami dulu hamil sama pacarnya yang pengangguran. Sekarang udah anak kedua aje." https://twitter.com/latte_nosugar/status/1385457137275457538
Bayangkan data pengeluaran dan tunggakan di-agregasi per kabupaten. Perlahan-lahan, perang sentimen bergeser menjadi daerah-lawan-daerah.

"Itu dasar, orang Bengkulu pada nggak bayar, tapi kok sampai gede banget pengeluarannya. Gimana itu pemdanya kenapa nggak becus nagih warga."
Komentar bermunculan.

"Maaf, pengelola BPJS. 🙏 Saya tetangga P Hendra. Dia itu ngerokok kayak sepur (kereta -red), jadi kena PPOK. Kalau dia pakai KataSibi, palingan dikit yang mau nyumbang. Tolong bijak lah nentuin kek gimana yang dapat BPJS."

đź‘Ť (79.324 like)
đź‘Ž (24 dislike)
Petisi-petisi mulai bermunculan dari orang-orang yang merasa pengeluaran BPJS gegabah.

"Presiden RI, stop memotong gaji kami secara otomatis jika kami tidak diperbolehkan menentukan syarat-syarat orang yang ditanggung BPJS."
[15.654.778 orang menandatangani petisi ini]
[Bagikan]
Berbagai seminar dilakukan fakultas-fakultas kedokteran dari penjuru negeri.

"Bolehkah Triase Dilakukan Masyarakat Awam?"
"Quo Vadis BPJS?"
"Hidup Mati Pasien, di Tangan Kolom Komentar"

Majelis Kehormatan Etik Kedokteran rapat berminggu-minggu tentang kerahasiaan medical bills.
Muncul berbagai wacana menerapkan otonomi-daerah untuk program jaminan-kesehatan.

"Sidang, gimana ini? Orang sakit banyaknya di provinsi X, tapi jumlah iuran terbesar dari provinsi Y. Apa kita serahkan penarikan dan pengeluaran BPJS ke tiap provinsi saja? Lokal, bukan nasional?"
BRAK! Meja sidang DPR dihantam kedua kepal seorang anggota, "Apa-apaan saran Anda? Indonesia itu kesatuan—bukan federal! Semua provinsi, semua daerah, saling menanggung pembiayaan! Tidak pandang asal wilayah!"

"Tapi ketegangan sudah memuncak! Pemda ingin pengelolaan independen!"
Opini keras diberikan oleh salah satu perwakilan pemprov-daerah-syariah, lulusan kampus akreditasi-A yang baru selesai baca Das Kapital,

"BPJS itu ya haram. Kapitalis. Ada upah yang tidak dibayarkan. Bahkan ada rumor uangnya buat investasi di $DOGE—saham untuk jual beli anjing."
Setelah tarik ulur, simpang siur berbulan-bulan, muncul Undang-Undang baru: Tiap orang hanya mendapat tanggungan BPJS Kesehatan senilai 50 juta rupiah.

Pasien-pasien yang ingin mendapatkan tanggungan lebih, wajib mempublikasikan cerita dan video sedihnya di platform "BPJS-Book".
Di BPJS-Book, media sosial khusus dana BPJS ini, hanya anggota-aktif yang bisa menjadi anggota platform.

Pasien berpenyakit katastropik yang ingin biaya pengobatannya ditanggung lebih dari 50 juta, bahkan hingga 1 miliar, harus mengumpulkan setidaknya 25.000 Likes dari WNI lain.
Dalam pidatonya setelah UU itu disahkan, Presiden RI menyatakan,

"Defisit BPJS sudah puluhan triliun. Kita tidak bisa membantu semua orang. Lewat UU dan mekanisme ini, seluruh WNI dapat menentukan pasien mana yang akan dibantu, dan pasien mana yang dipersilakan husnul-khatimah."
Orang-orang berpenghasilan-rendah dan awam-teknologi menjadi gemetar. Mereka mendengar kabar dari televisi bahwa, agar bisa menyambung nyawa, mereka harus membuat video-sedih dan mencari jumlah Likes dari sesama warga negara.

"Nak, kamu bisa video nggak? Bapak mau ngemis nyawa."
Anaknya, yang baru empat tahun mengenyam Sekolah Duduk, mengelap ingus seraya menjawab, "Ngak tahu aku kelas 4"

"Tolong ya, Nak. Usaha dulu. Kita nggak ada uang. Bapak sakit jantung. Kamu carilah itu tutorial video orang luar negeri."

Anaknya, kebingungan, menjawab tanpa suara:
Sedih karena ternyata anaknya gaptek dan nggak bisa bahasa enggres, Bapak itu mencuci muka, lalu pergi sembahyang. Musnah sudah harapannya untuk membuat konten video sedih yang viral—apalagi mendapat minimal 25.000 Likes dari WNI lain.

Sesampai di masjid, matanya melihat poster.
Bapak tua itu membaca poster di dinding masjid berulang-ulang. Tetap berdiri, dia merenung beberapa menit, seraya manggut-manggut. Di samping poster itu, ada stiker hadis sebagai referensi.

"Oh, jadi kalau aku meninggal karena penyakit katastropik, matiku husnul khatimah, dong."
Tentu saja, poster-poster itu tidak muncul tiba-tiba. Sudah satu bulan lebih Presiden RI memerintahkan seluruh masjid untuk mengingatkan jamaah: "Kematian karena penyakit organ-dalam tidak perlu ditunda."

Program-rahasia ini cukup sukses mengurangi jumlah orang yang mau berobat.
Makin sedikit yang berobat, makin kecil pengeluaran BPJS. Defisit BPJS menurun. Sayangnya, program ini tidak begitu efektif.

Masih ada dua puluhan triliun defisit BPJS tiap tahun. Masih banyak orang yang ingin penyakit katastropiknya ditanggung oleh kas-bersama BPJS—sampai mati.
Masih ada puluhan juta orang dengan penyakit-mahal, yang ingin terus hidup karena telenovela favorit mereka belum tamat.

Bagi mereka yang ingin dibiayai, tantangannya tetap sama: Mengumpulkan 25K Likes dari WNI lain, dengan amunisi berupa satu video-sedih, di platform BPJS-Book.
Melihat peluang bisnis dari mekanisme BPJS-Book, muncul berbagai agensi kreatif yang membuka jasa pembuatan video sob-story, biar dapat 25.000 Likes.

Bekal usahanya tentu saja laptop, filter grayscale, serta audio "Sad Violin". (Editor wibu akan pakai lagu "Sadness and Sorrow".)
Satu demi satu, para agensi kreatif berlomba membuat video sendu, kisah-kisah pilu disertai lagu-lagu yang membangkitkan rasa haru.

Tujuannya barang tentu: Supaya kliennya dapat Likes dan akhirnya BPJS mau bantu. Dengan begitu, jasa agensi laku, lalu mereka bisa dapat uang saku.
Beberapa minggu setelah UU disahkan, orang-orang kaget, "Hah? BPJS itu bisa defisit? Uangnya bukan dikasih langsung sama Perum Peruri?"

Akhirnya, ratusan juta warga negara sadar, bahwa konsep dana BPJS adalah "kas-bersama yang saldonya akan berkurang tiap kali ada yang berobat".
Di akar rumput, beredar lagi cerita-cerita ketika berbagai mekanisme bantuan disalahgunakan. Rumah-rumah bermobil dan bermarmer, dengan stiker PKH.

Tiap orang mulai mengecek satu per satu status "saldo BPJS" tetangga. Mencari tahu siapa yang menguntungkan, siapa yang jadi beban.
Didorong penasaran, orang-orang mencari nama-nama yang dikenal:

Toni Sutarko (33 tahun)
Sumbangan: Rp7.546.000
Tunggakan: Rp0
Beban: Rp0 (belum pernah ditanggung BPJS)
-
Saraswati (42 tahun)
Iuran: Rp1.546.000
Tunggakan: Rp5.443.000
Beban: Rp54.400.000
[klik untuk lihat riwayat]
Hari itu, di salah satu apartemen Nusa Tenggara, seorang pengusaha kecil berdoa sambil menyebut semua nama tuhan dan dewa yang pernah dia baca.

Dia baru mendapatkan 23 ribu Likes, tapi video sedihnya sudah berhenti viral—dan bahkan dilupakan. Pilihannya: Bayar-mandiri atau mati.
Dia sebenarnya bukan orang miskin. Hanya saja, mengganti "baterai" jantung dan dua kali memasang ring-jantung akan menghabiskan harta yang dia kumpulkan dalam 3 tahun terakhir.

"Yaudahlah," katanya pasrah, "Kayaknya ceritaku kurang sedih. Bayar sendiri aja. Uang bisa cari lagi."
Di tempat lain, di Jakarta, seorang TikToker sepi-konten mewawancarai seorang lulusan teknik-minyak yang banting setir jadi programmer.

🙆: Di kantor lu dibayarin BPJS nggak?
👨‍💻: Iya.
🙆: BPJS itu kepanjangannya apa sih?
👨‍💻: *mikir* British Petroleum?
🙆: JS-nya?
👨‍💻: JavaScript.
Masih hari yang sama. Slipi, Jakarta. Kantor orang terkaya di Indonesia, dengan total kekayaan 564 triliun rupiah.

"Lu tau 'kan, kita ini bisa kaya dari apa?"
"Iya. Rokok. Duit rokok nggak akan keluar dari ekosistem rokok."
"Lu kepikiran kagak, UU BPJS ngaruhnya apa buat pasar?"
"Oh, jelas. Market ancur, Bos. Orang jadi sembunyi-sembunyi mau ngerokok, takut kena spill di BPJS-Book kalau gaya hidupnya nggak sehat. Mau video sedihnya dibikin sama Ogilvy pun, nggak bakal nembus 5000 Likes itu."

Dia menghela nafas, "Mana Tobacco Control Act udah mana-mana."
"Ya udahlah, lu kontak lagi agensi itu," orang di kanan meja menyodorkan kartu nama.

"Oke, gua bilang ke mereka buat pastiin, kalau ada yang googling keyword 'rokok BPJS', yang muncul di halaman pertama itu besarnya pendapatan pajak dari cukai rokok, sama jumlah lapangan kerja."
"Bagus. Lu udah paham. Jangan sampai di halaman pertama search google muncul berita 'defisit BPJS disebabkan penyakit terkait rokok'."

"Kalau berita kayak gitu masih ada di halaman kedua search google gimana, Bos?"

"Udahlah, biarin aja. Orang nggak ngecek halaman-kedua search."
Orang-orang yang takut reputasi-kesehatannya jelek mulai mengisi halaman profil medsos mereka dengan aneka kegiatan olahraga. Makanan sehat mereka. Kutipan-kutipan kesehatan. Cuplikan tabel nutrisi.

Performatif. Mereka ingin memenuhi jejak digital mereka dengan gaya hidup sehat.
Di tiap akun Insta, setidaknya ada satu Story dengan sentimen, "Hi, Guys! Aku baru aja beli sportswear nih. Siap hidup sehat! Hehe. Kalau nanti video-sedihku muncul, bukan salah gaya hidupku ya. Emang musibah aja. đź‘Ś"

Tentu saja, nyatanya, baju olahraganya cuma dijadikan piyama.
Orang-orang berhenti dine-in di berbagai restoran cepat saji. Pilihannya adalah pesan-antar, atau datang ke gerai—dengan kacamata-hitam, masker, dan hoodie—lalu membawa pulang pesanan.

Ketahuan makan jajanan mekdi, apalagi berkali-kali, adalah vonis mati, jika nanti butuh Likes.
Berbagai grup FB "Jamaah Makkudiyah" tiba-tiba kehilangan anggota. Sebagian hilang begitu saja. Para adminnya deaktivasi akun supaya tidak bisa disambungkan ke identitas-dunia-nyata.

"Takut obesitas, Mbak," jawab salah satu mantan penikmat makanan cepat-saji ketika diwawancarai.
"Ndut" tidak lagi berfungsi sebagai panggilan sayang, melainkan alarm bahaya.

"Penyakit-penyakit karena obesitas itu biayanya sampai 700 juta lho. Kalau kamu amit-amit kena penyakit lemak-based, terus bikin video-sedih dalam keadaan gembrot, Likes kamu nggak akan nembus 10.000."
"Iya sayang~ Aku ngurangin gorengan kok. Nggak ada duit juga kalau sampai kena penyakit gara-gara lemak. Pasti butuh BPJS-Book dan semua Likes itu lah," Andri membujuk.

"Bener lho ya! Kubeliin timbangan. BMI nggak boleh lebih dari 23. Skinny-fat juga nggak boleh!" Deo mengancam.
Dengan adanya platform BPJS-Book, berbagai diskusi terus bermunculan. Tiap butir-pengeluaran di atas 100 juta tidak akan lepas dari kritisi oleh ribuan WNI.

Setelah satu tahun BPJS-Book dan transparansi besar-besaran transaksi kesehatan, sebuah... isu menarik... muncul: Ageisme.
Warga-negara yang menua tersinggung sekaligus khawatir akan munculnya sentimen "lansia adalah beban negara".

Mereka membongkar album-album berdebu, memotret foto-foto lama dengan kamera ponsel, lalu mengirimnya ke grup WA keluarga, "Ini lho kamu pas kecil. Dirawat penuh sayang."
Untuk menghindari dibuang dari pertanggungan BPJS, orang-orang tua menggunakan berbagai pengaruhnya.

Penatua berbagai gereja mengubah tema khotbah, mencatut ayat Keluaran 20:12, "Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu."
Namun, masalahnya bukan hanya ikatan keluarga. Ada masalah lain: Overpopulasi. Warga negara membludak.

Rhoma Irama—pelopor generasi micin—di tahun 20XX ini pun mengubah judul dan lirik lagunya:
♫ Menuju tiga ratus juta jiwa, ♩
♫ Penduduk Indonesiaaa~ ♯
♪ Tet-tot tet-tot! ♪
Lewat sudah masa-masa saat Indonesia masih sepi—dan lagu Bang Haji masih berlirik, "♫ 135 juta penduduk Indonesia~ ♪"

Di zaman itu, harga-harga murah. Lapangan-kerja luas. Properti mudah terbeli. Kini, di tahun 20XX, kepemilikan rumah dan lahan terkumpul di tangan para lansia.
Para orang tua memborong properti, melambungkan harga sampai tidak terbeli. Sementara, para kaum muda terlempar dalam persaingan yang makin mencekik; saling cakar dan gigit merebut lahan yang tersisa.

Benar-benar, seantero peradaban-manusia itu sendiri adalah sebuah skema-Ponzi.
Namun, ada satu cara lain bagi para WNI muda untuk mendapatkan properti berupa lahan atau hunian: Warisan.

Itulah kenapa, ratusan-juta WNI-muda punya kepentingan untuk "membatasi umur" para orang-tua penimbun properti: Supaya kepemilikan-harta dapat kembali terdistribusi merata.
Sengketa "pembatasan umur tertanggung BPJS" memanas. Tema-tema seperti defisit BPJS, beban pajak, produktivitas lansia, beredar di berbagai forum:

Opportunity cost dari puluhan-triliun kas-pajak yang harusnya untuk pembangunan, malah dihabiskan untuk mereka yang sudah bau-tanah.
Polemik "pembatasan umur tertanggung BPJS" di Indonesia melambung cepat menjadi #trendingtopic global.

Kelas-kelas sospol dan humaniora dari seluruh dunia menjadikan Indonesia sebagai bahan studi kasus. Ribuan tesis dan disertasi mengkaji isu ini. TIME menjadikannya cover-story.
Perang ideologi berlanjut. Antara kubu WNI-tua yang tetap ingin biaya-sakitnya ditanggung negara melawan kubu WNI-muda yang ingin terjadinya regenerasi populasi dan efektivitas penggunaan pajak.

Di tahun itu, ratusan permintaan uji-materi UU ditujukan kepada Mahkamah Konstitusi.
Diselenggarakanlah persidangan berhari-hari, berisi pihak dan kubu yang ingin menyuarakan hak mereka. Sembilan Hakim Konstitusi akhirnya mencabut UU lama yang melindungi-tanpa-terkecuali.

Undang-Undang baru muncul: WNI berumur lebih dari harapan-hidup tidak akan ditanggung BPJS.
Walau terjadi berbagai penolakan dan protes kecil di sana-sini, lebih banyak warga-negara yang puas atas keputusan itu. Defisit BPJS berkurang, dari dua-puluhan triliun menjadi hanya beberapa triliun saja.

Antrean BPJS makin pendek di berbagai puskesmas, klinik, dan rumah sakit.
Para lansia mulai berdamai dengan konstruk-sosial bahwa tidak sepatutnya mereka membebani generasi-selanjutnya secara berlebihan. Juga, menerima fakta bahwa kehidupan punya arti karena ada kematian.

Untuk menjadi lebih namaste, mereka mulai mengikuti program "Yoga with Adriene".
5 tahun setelah transparansi BPJS dan 4 tahun setelah penerapan "Likes for Lives" di BPJS-Book, perpaduan sistem dan budaya yang stabil mulai ditemukan.

Defisit anggaran berkurang. Masyarakat ikut berperan aktif mengawasi dan menghakimi "kelayakan dibantu" dari para pasien BPJS.
Para ekonom kesehatan Indonesia bernostalgia, membandingkan dengan situasi di tahun 2014, tahun kedua BPJS, ketika semua orang mendapat tanggungan tanpa batasan umur dan tanpa syarat jumlah Likes.

"Ternyata kita dulu nggak efisien banget ya," celetuk salah satu analis BPJS-Book.
"Iya Sist dulu mah anggaran kita pasti tekor buat bantuin semua orang sakit. Padahal kita 'kan nggak tau apa tetangga-tetangganya sendiri pengen si pasien itu tetap hidup," balas koleganya.

"Ho'oh. Sekarang 'kan ada limit 50 juta per orang. Terus ada filter sistem jumlah Likes."
You can follow @Okihita.
Tip: mention @twtextapp on a Twitter thread with the keyword “unroll” to get a link to it.

Latest Threads Unrolled: