Agnelli ngasih ide #UCL pakai Swiss model (36 tim), banyak yang gak setuju.

Kemudian dia ninggalin UEFA, bikin #ESL sama Pérez dkk pakai model serupa.

Eh, UEFA ngumumin UCL beneran pakai idenya Agnelli. Bedanya, orang-orang gak jadi pada protes karena semua protesnya ke ESL.
Kalau kita nyebutnya mungkin "pengalihan isu".

Pada akhirnya, Juventus cabut atau nggak dari ESL, bakalan tetap "menang".

Apakah ini akal-akalan Agnelli sekaligus buat menyingkirkan Pérez dkk (tim besar) karena sudah muak Juventus gagal melulu di Eropa?
Yang jelas, sekarang fokus orang-orang pada ke ESL. Bukan ke format baru UCL.

Jadi nantinya kalau ESL bubar dan UCL tetap jalan pakai format baru, orang-orang gak akan seresisten itu.

"Daripada ESL, mending gini"

"Ah, masih 2024 ini."
Agnelli ini mungkin memang banyak bisanya 🐍

Soalnya, ya, kalau merunut historis, UEFA memang mentingin duit, makanya selalu sejalan sama tim-tim besar, termasuk para penggagas ESL ini.

Dulu dibilang sistem gugur jadi kecepetan tersingkir makanya dibikin sistem grup.
Lalu setelah itu pada protes karena kecepetan juga tersingkirnya habis lolos grup, dibikin lah fase grup kedua (1999–2004).

Lalu setelah itu pada protes terlalu melelahkan kalau dua fase grup, dibikin satu fase grup lagi.
Terus ada yang komplain terlalu sulit lolos ke UCL, dibikin jalur khusus non-champion (league route) sehingga peringkat 2-4 bisa lolos.

Terus sekarang klub besar pengin jumlah laga lebih banyak dan kalau bisa ketemu tim besar lebih sering, disetujui Swiss model.
Licik-licik gitu, tapi kurang baik apa coba UEFA?

Kita bisa protes, klub kaya semakin kaya, klub miskin semakin miskin. Ini potret kehidupan.

Dalam ekosistem begini, yang kaya memang yang merasa paling kehilangan. Bayangin aja, biasa bisa gaji tinggi tiba-tiba kesusahan.
Buset. Ditinggal langsung ramai banget.

Sebetulnya yang harus diingat, utas ini bukan dilandasi fakta, melainkan opini. Gue menganalisis secara pribadi dengan mencoba berpikir dari perspektif para pencetus European Super League, terutama Andrea Agnelli (pemilik Juventus).
Agnelli-nya sendiri belum tentu mikir kayak gini. Kalau memang akhirnya begitu, hanya kebetulan, meski menurut gue cukup logis juga.

Yang gue tekankan lagi di sini adalah (ini juga opini):
Ribut-ribut soal ESL vs UEFA ini kayaknya bukan soal duit vs nilai-nilai tradisional.
Dengan bubarnya keteguhan hati para pendiri ESL, UEFA (dan Sky kalau mau ngambil kasus pembentukan Premier League 1992 juga) lantas gak bertindak sebagai pahlawan. Mereka juga bermasalah, makanya banyak yang menentang UEFA (dan FIFA).
Kalau bukan karena kerakusan, ngapain mereka bikin UCL berubah terus sistemnya (tradisionalnya full knock-out), terus di 2024 pakai Swiss model (36 tim) alih-alih naikkin prize money/revenue/distribusi market pool, ditambah UEFA Nations League dll juga?
Habis ngecek ke akunnya @firzieidris & @reshadeco, benar kayaknya kita (fan) terjebak di tengah pertempuran duit (& politik) elite bola Eropa.

Pada akhirnya fan cuma dijadikan komoditas.
You can follow @dexglenniza.
Tip: mention @twtextapp on a Twitter thread with the keyword “unroll” to get a link to it.

Latest Threads Unrolled: