Jalan lagi yuk
Kembali ke Tōkyō, menyelesaikan urusan minggu lalu. Kali ini tanpa Seishun 18 Kippu, sehingga pengeluaran perjalanan akan sedikit membengkak. Namun ini kosekuensi keteledoran dan beberapa alur sudah diatur demi meminimalisir pengeluaran.
Jika biasanya melalui jalur Toyodachō - Atami - Odawara - Tōkyō, maka jalur berubah menjadi Toyodachō - Numazu - Gotemba - Kōzu - Tōkyō. Penekanan biaya didukung oleh Kyūjitsu Norihōdai Pasu. Sehingga dari titik Toyodachō - Kōzu bisa naik kereta sepuasnya (y)
Selepas itu, biaya normal. Lumayan lah daripada menghabiskan hampir ¥10,000 perjalanan pulang pergi, setengah perjalanan pulang-pergi hanya menghabiskan ¥2,720. Jalan memutar. Ingat, kosekuensi. Kali ini sudah bawa paspor, jadi perjalanan sudah sepenuhnya aman.
Hari ini mendung, menurut ramalan cuaca. Syukurnya pada waktu keberangkatan, rintik hujan belum mendera. Tetapi, yang terjadi ketika tiba di Tōkyō sudah jelas.
Akhir pekan mendung menghujan, tiada ampun bagi orang-orang yang berada di dalam kereta. Beranjak dari kasur, memenuhi panggilan alam. Terutama bagi anak sekolahan yang berbondong mengeroyok empat gerbong ini. Sepertinya suasana belajar akan senada dengan irama lompatan domba.
Ketika menyebutkan Gotemba, tadi, tiba-tiba teringat akan sebuah karya anime/ manga berjudul Gin no Saji. Tokoh utama, Hachiken Yūgo, bersama tim berkudanya, yang telah menang kontes di tingkat prefektur, menuju Gotemba untuk tingkat nasional.
Sampai detik ini, ini adalah salah satu karya yang dinikmati berulang-ulang. Merasa terhormat, juga, bisa memiliki manga-nya dalam versi belum diterjemahkan. Tiket kunjungan ke Kiyomizudera beberapa waktu lalu dijadikan pembatas buku. Imut.

*foto 31 Maret 2021
Alasan kenapa masih menyukai karyanya sampai saat ini adalah karena jalan ceritanya berbeda. Bisa dikatakan bahwa ini adalah cerita kehidupan sekolah. Sungguh lumrah. Bagaimana jika sekolah pertanian dan peternakan? Ada sudut pandang baru di sana.
Tiga tahun keseharian ambang batas masa muda yang dihabiskan untuk mengurus lahan dan ternak 365 hari tanpa libur. Ucapkan selamat tinggal pada kenangan-kenangan bahagia itu. He. Ini dianggap biasa oleh mereka yang terbiasa. Yang membuatnya menarik adalah tokoh utama, Hachiken, -
yang dari keluarga biasa, menjalani kehidupan yang baginya tidak biasa tersebut. Sebagai tokoh yang diberkahi karakter cerdas oleh pengarang, banyak hal yang dipertanyakan sehingga menjadi pelajaran untuk yang ditanya, juga pembaca/ penonton. Tujuan utama Hachiken masuk sekolah -
pertanian dan peternakan pada awalnya hanya melarikan diri, sehingga ini juga seperti perjalanan menemukan jati diri dan lebih memahami sifat orang yang berbeda-beda. Tidak ada antagonis di sini, menurutku. Semua karakter didesain agar memiliki sifat -
protagonis dan antagonis. Satu-satunya "yakuza" yang disangka adalah antagonis utama justru sebenarnya ia terlalu jujur baik ucapan dan pikiran sehingga acapkali disalahartikan menjadi tindakan memandang rendah orang lain.
Iya, nilai pelajaran yang begitu banyak jadi merasa perlu belajar banyak dari karya ini dan menelaah pelajaran tersebut satu-persatu. Ini mencakup pelajaran di sekolah secara teori dan praktek, kegiatan lepas, kegiatan klub (berkuda, terutama), etika bekerja, berwirausaha, -
memahami karakter, dan lainnya lupa. Itu tidak semuanya diberikan, sih, akan tetapi pelajaran yang diberikan dirasa sesuai kadar cerita.
Ini salah satu cuplikan pelajaran dari nenek buyut. Terjemahan dialog dari kanan atas ke kiri bawah:
1. Itu adalah uang yang didapat dari hasil kerja dan berpikir keras.
2. Ia tidak akan kepikiran untuk segera menghabiskannya untuk hal tak berguna.
Terakhir dan yang lumayan ngena.
3. Orang bodoh akan menggunakan uangnya untuk hal yang tidak akan memuaskannya. Namun orang pintar akan menggunakannya demi tumbuh kembangnya.
Begitu banyak pelajaran, sehingga terkesan membosankan. Tidak. Isi kemasannya justru penuh gelak tawa juga. Dari tadi coba cari gambar, tapi internet tidak mendukung. Nanti ditambahin deh.
Jika ada yang kurang dari karya ini, bisa jadi karena jalan cerita antara manga dan anime sedikit tidak konsisten. Jalan cerita kelas 1 SMA yang panjang, kelas 2 dan 3 yang singkat. Tapi bukan hal besar sehingga jadi tidak suka. Ini juga karena pengarang ada gangguan kesehatan.
Ketiduran saat perjalanan jalur Numazu - Gotemba - Kōzu. Bangun ketika 2/3 jalan. Ketika iseng cek maps, ternyata ada jalur kereta di antara Gotemba - Kōzu. Berhenti di Matsuda, ganti kereta di Shin-Matsuda dan langsung ke Tōkyō. Biaya sekali jalan ¥790. Jalur tikus cuy.
Sungguh memangkas pengeluaran. Jika perkiraan awal pengeluaran paling rendah dengan alur bolak-balik adalah ¥4,920 dan tertinggi alur maju adalah ¥6,680, maka kali ini alur maju pengeluaran terendah ¥4,300. Yeiy.
Selain biaya yang menjadi lebih murah, perjalanan kali ini menembus pegunungan; semacam meningkatkan mood. Suasana mendung jadinya ada perasaan diselimuti petrichor. Memang suka hiking dari dulu, jadi ketika melihat area pegunungan selalu ada perasaan "excited".
Ngomong-ngomong, dunia pernetizenan Indonesia lagi banyak gonjang-jangingnya ya belakangan ini. Beberapa hari lalu sempat baca berita serangan komen ke Negeri Gajah Putih, barusan perihal artis dalam negeri. Menarik untuk dibahas itu adalah, "kok berani, ya?"
Kalau dipikir-pikir, berkat kemajuan teknologi akses satu orang dengan orang yang lain bisa jadi tanpa batasan. Ini suatu kemudahan. Tapi, dari diri sendiri kadang suka khilaf apa diri sudah dibatasi atau belum. Masalah etika dan diri ini berada di lingkungan yang mana?
Mungkin, kata kunci utama di kasus kali ini adalah "saling mengingatkan". Dua kata yang sebenarnya secara implisit dan eksplisit itu tidak ada yang salah. Ada yang sadar, tidak, seperti ada pergeseran makna jika dibawa ke ranah daring baik secara harfiah maupun kalimat lain.
Kalimat lain ini justru seperti menghujat atau mencaci maki sesuatu yang tidak disukai. Tetapi itu juga terlihat seakan "saling mengingatkan" versi pribadi. Contohnya, ketika si A tidak suka dengan si B karena si B itu bau. Hujatan yang keluar bisa jadi, "B bau badan bangs*t,"
dimana, jika diperhatikan si A itu "mengingatkan" si B secara tidak langsung bahwa menjadi bau itu tidak benar. Inilah yang terjadi. Niat baik tapi cara keliru ya yang ada hanya kesalahpahaman. Terlebih si A nya ada banyak. Seperti perudungan massal.
Lagi, dengan kebiasaan "silaturami" di negeri ini ditambah hilangnya batas, warganet bisa lebih sering saling mengingatkan mereka yang dirasa mereka butuh diingatkan. Adapun yang bisa memperparah, yakni suka mengingatkan orang lain tapi tidak suka/ bisa diingatkan. Lha?
Predikat "netizen maha benar" tersemat ya berkat mereka-mereka itu. Lalu ada juga "over-proud". Seolah-olah skemanya seperti: rudung target, bantah semua argumen, menjadi sebuah kasus, muncul di media, bukannya malu justru bangga.

Yang muka dua mungkin bisa kasi satu mukanya.
Maaf baru muncul lagi, urusan di Tōkyō sudah kelar. Lanjut lagi, karena sudah di dalam kereta. Belum dapat tempat duduk, berdiri memojok. Siapa mengira Odakyū (sebuah perusahaan kereta swasta) ternyata bisa sepadat ini. Jiwa covid19 ku bergetar.
Pada akhirnya, yang menanggung adalah yang tidak terlibat tapi justru merasa bersalah. Apakah yang berbuat juga bertanggung jawab? Karena ini sebuah gerakan massal, tidak jelas siapa yang membakar api.
Seperti biasa, diam. Seolah dengan diam, semua yang terjadi juga ikut diam. Walaupun nama akun warganetnya sudah sangat jelas. Kembali ke fakta bahwa itu adalah gerakan massal. Lain ceritanya jika itu bukanlah gerakan massal. Prosesnya adalah berulah - tertangkap - minta maaf.
Itu semua selalu terjadi berulang kali. Apakah bisa diasumsikan jika warga-warga daring itu fetish perhatian?
Sebenarnya, jika dikorek lebih dalam lagi, alasan ini terus berulang adalah karena keterbatasan pengetahuan. Ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk. Sebaliknya, tong kosong nyaring bunyinya. Poinnya adalah mengurangi rasa paling benar/ ingin menang.
Perasaan yang muncul karena yang berumur merasa semakin tua semakin matang Sehingga ketika yang masih muda mencoba memberi tahu, harga diri sebagai senior serasa terkoyak. Padahal umur hanyalah angka, tidak menjamin apakah sudah benar-benar matang.
Iya sih, kadang ada saja orang yang selalu merasa paling benar/ selalu ingin lebih dari yang lainnya. Aku bisa paham, semua terjadi karena alasan sehingga mereka ada di titik seperti demikian. Namun, apakah kemungkinan untuk merubah pola pikir itu juga menjadi nihil?
Sekilas terlintas melintas:
Apakah dengan menegur seseorang, itu berarti turut mendukung orang tersebut untuk tidak menjadi dirinya sendiri?
Baiklah, mari dicukupi dahulu. Masih terbuka untuk diskusi, kapan saja.
Hasil perjalanan hari ini, tidak bisa dibilang nol akan tetapi tujuan utama ternyata masih diluar jangkauan.
Tujuan utama dalam perjalanan ini masih sama dengan minggu lalu. Mencari tiket murah untuk perjalanan Golden Week yang akan berlangsung dua minggu lagi. Tujuan kali ini masih sama seperti libur panjang sebelumnya, Hokkaidō dan Tōhoku. Belum puas karena hancurnya jadwal.
Pemberitahuan ini muncul pada awal tahun, beberapa saat setelah pulang dari liburan musim dingin. Aku merasa masih ada kesempatan untuk kembali menjelajah Hokkaidō, meskipun tiket ini terbatas hingga Hokkaidō bagian tengah saja. Bagian lainnya akan menggunakan biaya lepas.
Maka, minggu lalu yang rencananya membeli tetapi lupa membawa paspor, diputuskan untuk kembali ke Tōkyō untuk membelinya setelah mendapat kepastian minggu lalu bahwa orang asing yang tinggal di Jepang bisa juga membelinya. Tidak terikat batasan sebagai pengunjung.
Inkonsistensi terjadi ketika transaksi. Pegawai yang juga menangani hal yang sama minggu lalu, sempat diskusi lama bersama pegawai lainnya. Seperti atasan. Minggu lalu pun, pegawai tersebut berdiskusi namun dengan orang yang berbeda.

*Gambar di depan stasiun. Sebuah pertanda.
Minggu lalu dikata boleh, maka minggu ini tidak boleh, secara tidak langsung dengan memberikan penawaran tiket lainnya tanpa pilihan ke Hokkaidō. Tidak panjang lebar, pembicaraan disudahi dengan, "jika sudah diputuskan (akan membeli), maka aku akan datang kembali." Tidak.
Ada perasaan jengkel. Waktu, uang, dan energi terbuang bukan demi sesuatu yang dikejar-kejar. Sisi lain, aku yang pernah jadi FO paham posisi si pegawai. Apalagi, dia terlihat baru-baru bekerja karena pengetahuan mengenai transaksi tiketing masih bertanya pada koleganya.
Semoga ini menjadi pengalaman berharga buat si pegawai untuk benar-benar cek, pengalaman buat perusahaan agar memberikan klarifikasi lebih lanjut mengenai pembatalan suatu promosi. Pelajaran juga buat akunya agak tidak terlalu berharap.
Lalu sempat menenangkan pikiran di McD terdekat sambil mengisi daya ponsel, serta berpikir mengenai tindakan selanjutnya. Kembali berancang-ancang. Setelah perut kenyang, ngempu sejoli di Odaiba. Satunya senior, satunya teman sekolah bahasa. Kami bertiga akrab dari sananya.
Dari Shinjuku, menuju Tōkyō untuk bertemu, lalu melanjutkan perjalanan berputar sekitar Odaiba. Sekilas perjalanan (luar).
Beberapa pengalaman baru kali ini adalah masuk mall dan makan di pujasera. Makan kari level paling pedas. Paling pedasnya restoran itu masih di bawah standar DAD. Ada toko Doraemon beserta museum kecilnya, juga musem t*hi. Uhh. Fokus ke Doraemon saja, si biru ini memang imut.
Setelah puas berbicara mengenai banyak hal, diputuskan untuk menuju habitat masing-masing. Sepanjang perjalanan, hujan mendera kembali. Meskipun harus berganti kereta, setidaknya tidak perlu berbasah-basahan. Suasana sendu gelapnya jalur pegunungan didukung sedikitnya penumpang.
Khusus untuk @KupiGunting (tidak yakin ingin menandai akun lagi satunya), ada beginian tadi di penjualan Shonen Jump di Odaiba.
From now ,let me write this in English. It's not because @theresiayk asked me before, but I've been thinking about this lately. Probably it's just me, dumb enough not to be able to express my feeling in my mother tongue.
Yet, it feels like if other languages can do, then why not? I might express it in Japanese since it's much simpler yet more complex but will my audiences understand? Ha. I know no one would read my tweets other than my loveable friends. I'm glad you guys understand English.
Ah, yes. I was asked how's going and is Japan as good as the commercials.
What's interesting that the question whether Japan is as good as it's being advertised. It indeed is, as the surface shows, like those beautiful pictures spams, attracting others. Admins take chance to gain likes/ followers anyway lol. Suggestion: come to Japan as visitor.
What's good is Japan's honest commercials. Nature, buildings, even foods. What's there, they will put it as the way it is in the pictures. While people think everything about Japan has been exposed, yet some remain hidden unless one goes locally to find lot.
There are plenty of this-kind-of board scattered in almost stations, indicating the tourism potential within the area. Using station to introduce what an area of the station offers such as tourist spots or hot spring, stand selling local goods is the reason I love Japan station!
Examples of station as an introduction.
1. Wakkanai boasts itself as the northernmost station in Japan.
2. Aomori displays paper lanterns as they're proud of their Nebuta Festival.
3. Akita has been long famous for its Namahage. I couldn't find the statue around the station.
Station may look similar to airport, but the amount of people are able to fly is not as much as people riding train. Like, train is for (almost) everyone. I feel like Japan does it correctly.
Imo, Japan being systematic adds small aesthetic touch to almost everything. This makes packed cities, complicated rail tracks, even untouched nature beautiful. Even in a very long journey, unless I get sleepy, I've never been so bored to watch the changing time--season.
Been here and there this whole time and this country never fails to amaze me. I have another 1.5 years to spend and I don't want to waste every single moment to appreciate the beauty, not even covid19 stops me. He. In this opportunity, I'm glad to be able to support locals -
not fully though ,by visiting their places and trying their products, As a person who was raised in a tourism-dependant island, I'm fully aware the impact, it reminds me of Mt. Agung eruption causing in travel ban.
My arrival two years ago, before covid19, I was in Tōkyō for a month and I went to Kansai region during winter vacation. Jam-packed. Then the outbreak begun and everybody went missing. I dared myself to travel to Kyōtō during first wave pandemic -
to see how much it's different from the previous and it was so shocking. All shops were closed, extremely cheap price hotels (¥650 was the cheapest!), though some went bankrupted. The struggling was real for them. I fully understand it's advised to stay home -
but if I do, it feels like I'll never have the second chance. I'll always keep myself prepared to prevent the outbreak during my travel.
Back again! It was drizzle last night, before midnight, and I had to pedal back home. A full day "off" before facing reality tomorrow. These pictures were taken last week, showing how "far" Tōkyō city lights from here. Darkness, my companion of homecoming.
Apart from covid19, my traveling activities go on. Living here also means I have slow pace (in some occasion, I don't) I demand myself to see deep down below the surface. Preferences come from anime/ manga which aren't listed on big sites; some are, but they're not that famous.
Internationally known Japan golden road is Tōkyō - Kyōtō - Ōsaka. Being on one straight line, so the scheme is Arriving at Tōkyō and departing from Ōsaka. Nope, nothing is wrong and I fully understand people don't have that much money and time unless they're rich and immortal.
Those three represent Japan very well so people are less likely to feel dissatisfied coming back home. How Japan is actually represented? The balance between traditional and modern. Tōkyō is on modern side while Kyōtō holds its tradition. Ōsaka? Airport (also castle and gourmet).
Don't worry about language barrier! (Well, probably you want to). Locals are always trying to be helpful and will speak English they as good as they could. Good English would be around tourism area. Officially-made cautions are also informed excellently there though some aren't.
Being non-Japanese means they expected us incapable of speaking their language. At least English as widely used language is the only possibility. Better be prepared, at least know some keywords.
My visit to Kyōtō, checking-in at a hostel. I told the FO I'm fine with Japanese yet he kept providing information in understandable English. Trying to make him sure I'm OK, he replied all my Japanese responses in English. At least the information comprehended for both parties.
I'm not sure how the English is if it's not famous tourist spots though. Thinking to try to travel locally puts my English to another part in my cerebrum during my trip.
Anyway. "I'm doing fine so far", let's put it as "I'm surviving". I'm on neither good nor bad shape. Sometimes I'm not even sure I'm doing right. One is sure, I'm moving forward no matter the circumstance is.
Japan is an everlasting list for every traveler, but what about worker? As I mentioned on the very first lines, better come as traveler. At one point Japan truly encourages visitor long ago, such as by providing cheap rail passes for non-Japanese with temporary visitor visa.
Talking about working, if one insists to come here for working, I suggest to come as a professional worker. Despite of all of its proficiency requirement, trust me you won't be at disadvantage.
When it comes to living, well, people live different lives so I'm not sure mine is valid enough. My current life cycles is work - live during weekday - - escape on weekend (if possible). I shop once/ twice a week, after-work, so my weekend won't be disturbed by errands.
After hard-working days, unlike all fellows who prefer to stay in place contacting families and other half, two-time (whoops), gather and hold a small event, travel keeps my sanity. Some weeks are only one day off, so during this time I often participate in Japanese class.
Japan holds voluntary Japanese class for those who are interested, focusing on people who are lacking in speaking discussing everyday situation. I am participant and also voluntarily volunteer Indonesian translation.
This thread isn't done yet. Pardon my long pause.
You can follow @chertanovic.
Tip: mention @twtextapp on a Twitter thread with the keyword “unroll” to get a link to it.

Latest Threads Unrolled: