Ibu Maria, ibu mgkn tdk ingat dulu di tahun 1994, pernah menolong seorang mhs Tionghoa yang oleh UGM tidak diberi kartu mahasiswa selama 6 bln krn tdk punya surat kewarganegaraan/SBKRI. https://twitter.com/syafiatudina/status/1331158055615008768
Ibu Maria Sumardjono tdk pernah bertemu saya. Tapi ibu, waktu itu Dekan Fakultas Hukum, menulis "katabelece" dengan tulisan tangan ibu untuk seorang mhs Tionghoa semester 1, berponi & berkacamata culun dari Bandung. Berkat tulisan tangan ibu, mslh saya selama 6 bln, selesai.
Saya lolos UMPTN utk masuk ke Fisipol UGM th 1994. Saat mendaftar, birokrasi UGM mengatakan saya hrs punya SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan RI). Saya hanya punya akte kelahiran yang bertuliskan bhw saya lahir di luar nikah dan surat WNI ibu dan kakek saya dr pihak ibu.
Menurut seorang birokrat di rektorat di Gedung Pusat UGM, surat-surat saya itu tdk cukup. Saya diminta ke PN Bandung utk melengkapi. Di PN Bandung, petugas memarahi saya krn tdk paham maunya UGM apa.
Selama enam bulan, saya bolak balik gedung pusat, membawa surat ini dan itu. Legalisasi akte saya yang sdh dicap PN Bandung lah, termasuk akhirnya saya perlihatkan surat WNI dan surat ganti nama ayah saya.
"Ini surat kewarganegaraan dan ganti nama siapa?" tanya pak X.
"Papa saya, pak."
"Mana buktinya bahwa dia papa kamu? Di akte kelahiranmu tdk ada nama dia."
Saya pulang ke kos dengan bingung. Papa saya berteriak marah di telepon: Evi anak papah! Anak papah!
Jadi surat kewarganegaraan ayah saya diduga palsu. Ada surat atas nama org lain dengan nomor yang sama di arsip negara. Dulu th 1960an, Tionghoa yang memilih jd WNI ramai-ramai membuat surat. Sptnya ada kekacauan dan mgkn penipuan di masa itu.
Solusi yang diambil org tua kami cukup ekstrem. Mereka menikah di Jan. 1970. Kakak sulung saya lahir di Desember 1970. Lalu mereka memalsukan surat cerai di Oktober 1970 agar 4 anak mrk bisa jadi WNI. Untuk jadi WNI, kami harus jadi anak haram di mata negara.
Entah di kunjungan saya ke berapa kali ke Gedung Pusat UGM yang megah itu, saya duduk di tangga sendirian, menunggu pak X. Saya sdh tdk ingat surat apalagi yang saya bawa dengan harapan diberi kartu mahasiswa.
Rupanya ada seorang ibu yang sudah memperhatikan saya lama. Ibu ini bertugas di bagian lain dan pangkatnya lbh rendah dr pak X. Ibu ini memanggil saya ke ruangan dia yang dia tempati bersama belasan pegawai lain. Dia bertanya, mengapa saya bolak-balik berbulan2?
Saya cerita, saya tunjukkan semua surat. Lalu di depan saya dia menelepon bu Maria Sumardjono. Tdk lama, dia menyuruh seseorg utk ke Fakultas Hukum, org ini kembali membawa secarik kertas, ada tanda tangan bu Maria.
Ibu penyelamat saya ini men-staples secarik kertas itu di setumpuk dokumen saya dan menyuruh saya menunjukkan surat itu ke Pak X. Saya lupa, apakah hari itu juga, atau hari lain, saya datang ke Pak X, tulisan tangan bu Maria menempel di situ.
Pak X melihat tulisan tangan bu Maria. Terdiam. Lalu pergi meninggalkan saya di kantor dia (dia punya ruang sendiri, tinggi pangkatnya). Sekitar 30 menit kemudian dia kembali. Membawa kartu tanda mahasiswa saya.
Terima kasih ibu Maria, terima kasih ibu yang saya lupa tanya namanya (maaf bu), jasa ibu tdk akan saya lupakan.
Dan jari tengah untuk pak X. Bpk kesel kan krn saya terlalu tolol utk paham yang bapak mau sesungguhnya. Beneran, saya wkt itu ga paham dia sbnrnya pengen salam tempel. Saya baru sadar bertahun-tahun sesudahnya.
Oh ya. Setelah Reformasi, ayah saya membuat surat WNI baru. Lalu th 1999 orang tua saya menikah lagi. Ada surat tambahan di akte kami berempat. Dan sejak tahun 1999 nama saya dari Evi Mariani, menjadi Evi Mariani Sofian karena saya anak papah Ijan Sofian hehe.
Oh ya saya lupa. Isi tulisan tangan bu Maria pendek saja. Beliau mengatakan, pak tolong KTM anak ini segera diproses, karena surat-suratnya sudah lengkap. Akta lahir saya dan surat WNI ibu saya juga kakek saya sudah cukup utk bukti bhw saya WNI.
You can follow @evimsofian.
Tip: mention @twtextapp on a Twitter thread with the keyword “unroll” to get a link to it.

Latest Threads Unrolled: