Tweet @bataldemihukum yg viral menurut gue adalah contoh dari betapa mudahnya sebuah tweet bisa dimisinterpretasikan semakin jauh dari konteks originalnya, yaitu dengan menipisnya tabir antara ranah privat dengan publik dalam media sosial.
Tweet ini konteks originalnya adalah inside joke dari kita yang aktif secara seksual dan sering melakukan VCT (Voluntary Counseling and Testing) utk HIV dan penyakit seksual menular lainnya.
Banyak dari kita tau risiko dalam menjadi aktif secara seksual, dan ini salah satu cara kita membuat ringan situasi ini. Bukannya menganggap remeh peran pekerja kesehatan, tapi membuat ringan beban tekanan pasien dalam menghadapi kemungkinan adanya penyakit menular seksual.
Tentu untungnya banyak penyakit menular seksual ini sudah gak mematikan lagi, dan banyak orang orang yang HIV+ yang bisa hidup dengan normal.

Tapi kami yang imunnya bermasalah udah pengalaman duluan dalam berhati hati dengan penyakit seperti COVID-19, dan kami lebih rentan juga.
Kemaren gue sempet liat liat responnya (tweet ini udah deleted) dan balasannya menarik. Dari ‘kok ngomong kayak gini sih? nanti orang malah jadi enggan buat tes’, ke ‘emangnya HIV cuma bisa ditularin lewat seks?’, sampai ke ‘ini karena keluar di dalem ya? wkwkwk’
Tentu ada yang ngerti bahwa ini bukan tweet serius dan respon sesuai konteks originalnya. Tapi ada yang anggap bahwa ini bercandaan juga dan malah bercanda gak sensitif soal penyakit menular seksual & ada juga yang terlalu serius sampe ngira ini tweet dari orang yang insensitif.
Kesalahan dari kebanyakan orang ini sama: mereka nggak paham konteks originalnya. Apakah mereka berpikir untuk melihat akun OP (si Temi) dan melihat tweets dia yg lain, apakah sebenernya pandangan dia terhadap VCT, pekerja kesehatan, dan penyakit menular seksual?
Berdasarkan riset (referensinya ada di Zotero, ntar di akhir thread gue sebut ya), Twitter adalah medsos yang rawan konflik karena sifatnya yang eksponensial alias selewatnya aja dan cepet, dan fokus aktivitas kita yang utama adalah reaksi terhadap konten.
Sehingga, lebih mudah bagi pengguna untuk memproyeksikan perasaan dan konteks pribadi mereka terhadap suatu konten daripada melihat lebih dalam konteks originalnya. Boomers mungkin gampang kena hoax BC, tapi kita Millennials dan Gen Z juga suka kemakan hoax dalam bentuk lain.
Contoh:

🙂: “A itu B”
😒: Oh jadi kalo A itu B, terus kalo C enggak ya?”

Padahal OP nggak pernah sebut C. Seberapa sering kita kena beginian di Twitter?
Sejak penggunaan medsos menjadi hal yang esensial dalam ekspresi keseharian kita, ranah antara yang privat dan publik terus menipis, karena walau ini akun pribadi kita, publik tetap bisa mengakses informasi yang kita sampaikan.
Ketika di-RT/liked oleh orang lain, seakan itu jadi undangan untuk menjadikan Tweet itu sebagai konten umum. Ini kenapa influencer atau akun dengan following gede susah untuk menyampaikan opini pribadi, karena secara default opini pribadi mereka menjadi konten umum.
Di akhir hari, walaupun tweet OP di sini memberikan kesempatan utk diskursus mengenai kesehatan seksual tercipta, kita masih belum bisa lepas dari ketidakmampuan kita untuk berinteraksi dengan efektif dan ‘benar’ di ranah medsos.
Kita masih belum bisa menyesuaikan gaya bicara dan sistem pengertian kita dengan ranah media sosial dengan baik. Banyak dari kita yang walau sudah sangat terinformasikan tapi sering blunder dan kagok.

Well, to err is human after all.
Tapi dengan begitu, kita harus sadar bahwa orang itu bisa salah dan mereka bisa berubah, dan kita harus pertimbangkan apakah reaksi pertama kita adalah untuk marah marah dan memproyeksikan perasaan pribadi kita tanpa melihat konteksnya dulu.
Melihat konteksnya dulu tidak sama ya dengan melihat dari perspektif lain. Seringkali, tidak perlu melihat dari perspektif lain ketika adanya ketidakseimbangan relasi kuasa, tapi tetap penting bagi kita untuk mengerti betul konteks dan fakta sesuatu yang kita hendak komentari.
Yang perlu kita bangun di sini adalah kemampuan untuk melihat konteks suatu konten sebelum berinteraksi dengan konten itu, karena bisa jadi kita berada di luar konteks itu. Konflik terjadi ketika ada miskomunikasi soal konteks, dan yang terproyeksikan seringkali debat kusir.
Medsos itu bukan cuma ‘melihat sesuatu dari dua sisi’ karena seringkali, sisinya gak cuma dua. Konteks itu terlepas dari jumlah sisi, dan kita perlu membatasi proyeksi pribadi kita dan menambahkan bukan ‘pemakluman’ terhadap orang lain, tapi pada diri sendiri.
‘Apakah kita berhak komen? Apa yang udah gue tahu sampe gue bisa komen? Kenapa gue harus komen? Kontribusi gue apa?’

Choose your battles.
Referensi:
- Before name-calling: Dynamics and triggers of ad hominem fallacies in web argumentation https://arxiv.org/pdf/1802.06613 

- Conflicts of interest in Twitter
https://www.thelancet.com/pdfs/journals/lanhae/PIIS2352-3026(17)30109-6.pdf

- Cross-hierarchical communication in Twitter conflicts
https://ingmarweber.de/wp-content/uploads/2014/07/Cross-Hierarchical-Communication-in-Twitter-Conflicts_1.pdf
- Is Twitter a public sphere for online conflicts? A cross-ideological and cross-hierarchical look
https://arxiv.org/pdf/1410.0610 

- Opinion conflicts: An effective route to detect incivility in Twitter
https://arxiv.org/pdf/1809.00289 
You can follow @NightmareCrone.
Tip: mention @twtextapp on a Twitter thread with the keyword “unroll” to get a link to it.

Latest Threads Unrolled: