Terima kasih diriku yang tidak melakukan self diagnose dan memutuskan untuk pergi ke profesional. Sekarang, Aku sudah merasa jauh lebih baik. Apakah Kamu pernah dengar Siklotimia?

Berikut adalah utas tentang kisah seputar kesehatan jiwa atau mental yang Aku jalani.
Ini adalah perjalanan versi singkat dan akumulatif sejak aku kecil sampai sekarang. Sebagai anak tunggal, Aku sering mendengar komentar orang tentang ‘anak tunggal mah enak, semua dikuasai, pasti manja, dan banyak hal lain.’ Aku selalu tersenyum mendengarnya.
Sebenarnya mau anak ke berapapun Kamu, tidak akan menjamin kehidupanmu akan seperti apa. Aku tinggal dalam keluarga kecil sederhana dengan perekonomian menengah ke bawah tapi cenderung sering kepleset ke bawah.
Bagaimana masa kecilku? Mungkin aku bisa merangkumnya menjadi dua kata yang sering digunakan oleh bang @Adriandhy yaitu ‘Dipaksa Dewasa’. Percayalah, Aku pernah mengalami dan melihat langsung sebagian besar adegan yang terjadi di sinetron.
Pada awalnya Aku juga bertanya ‘Emang mungkin ya?’, ternyata banyak sekali yang benar terjadi. Ibarat film, berbagai genre pernah aku jalani.
Aku tidak akan membahasnya dengan begitu detail. Sebagai bukti, Aku harus pindah rumah setidaknya sekitar lima sampai enam kali karena banyaknya masalah yang ada. Semua pengalaman itu mempengaruhiku.
Bintang yang tadinya periang, aktif, ceria, gesit, dan suka ngomong mulai menghilang. Rasanya seperti Aku kehilangan diri sendiri. Beberapa bulan kebelakang aku juga membicarakan ini dengan Mama.
“Sejak awal SD Kamu mulai berubah, jadi pendiam, dingin, dan cenderung mengabaikan berbagai hal di sekitar. Mama cuma berdoa dari dulu, semoga Kamu dilindungi dan sama sekali tidak menaruh dendam.”
Berbagai pengalaman traumatis membuat Bintang di SMP sering berpikir untuk pergi dari rumah dan beberapa kali melakukan self harm. Saat itu aku benar-benar tidak tahu bagaimana cara melampiaskan dengan baik dan benar.
Setidaknya, saat itu game online di warnet menyelamatku dari waktu luang. Pagi ke pagi biasa ku habiskan di depan layar komputer. Memang tidak sepenuhnya baik, setidaknya itu menyelamatkanku dari berbagai opsi lain untuk mencari distraksi.
Proses bertahun-tahun membuatku terbiasa menggunakan jurus tekan pendam terhadap segala jenis emosi dan kejadian yang aku alami. Selama SMA Aku terbiasa memendam semua sendirian dan anggap itu angin lalu. Aku mulai sering merasakan sakit kepala disini.
Entah pusing atau sakit kepala yang kalau dipikir agak aneh, ketika kepala bergerak sedikit saja rasanya nyut-nyutan bukan main. Singkat cerita, setelah masa transisi menuju kuliah yang cukup drama… Akhirnya aku kuliah di Jakarta.
Ternyata, Jakarta menjadi awal mula perjalananku menyelami dunia kesehatan mental. Kalau tidak salah, awalnya karena aku datang di salah satu seminar dari Dokter @jiemiardian yang saat itu menjelaskan dengan sangat sederhana dan baik.
Definisi sehat yang aku tau (pada awalnya) adalah kondisi ketika aku tidak sakit. Ternyata tidak hanya itu. Syarat kita bisa dikatakan sehat aalah ketika kondisi kita baik secara fisik, mental maupun fungsi sosial (bukan hanya tidak sakit fisik). - Mengacu ke WHO
Sesi itu juga merupakan kali pertamaku mendengar istilah seperti psikosomatik, burnout, dan istilah lain. Aku juga baru tahu kalau depresi ternyata dipengaruhi oleh faktor biologis juga dengan presentase yang bisa dibilang cukup signifikan (setiap orang berbeda).
Setelah itu ngobrol singkat dan minta referensi buku dari Dokter Jiemi. Nah, seminar tersebut membuat aku semakin penasaran dengan hal-hal seputar kesehatan mental. Salah satu alasannya adalah karena aku sangat merasa relate dengan apa yang disampaikan (bukan self diagnose).
Pada akhirnya aku sadar dan sampai di satu kesimpulan kalau kesehatan mental adalah yang hal penting. Tambah lagi, semakin tinggi usia, semester dan beberapa hal terkait organisasi dibumbui dengan masalah tentang rumah, cukup membuat burnout sering terjadi.
Aku jadi berkenalan dengan hal-hal seputar kesehatan mental lebih lanjut lagi. Mulai dari menambah referensi bacaan, video, dan buku. Itu juga yang membuatku berkenalan dengan:
Mindfulness dari Mas @adjiesanputro , TAT Mas @rezagunawan , korelasi nutrisi dan kesehatan mental dari @maxmandias_ , Ayurveda dari Mbak Zia, live ig yang suka diadain sama @ndreamon , dan banyak referensi lain.
Aku juga sudah sering melakukan sesi konseling dengan psikolog di Bimbingan Konseling kampus (karena gratis). Kalaupun sedang merasa tidak enak, Aku melakukan via online melalui halodoc.

(Sama sekali bukan sponsor).
Tahun 2020 ternyata unik. Pandemi yang memaksaku untuk berdiam diri di rumah, spesifiknya di kamar dengan pemandangan dinding mengantarkan Aku ke momen lain. Aku diminta untuk menyelesaikan dan menelusuri apa yang terjadi di masa lalu.
Aku menemukan berbagai fakta yang selama ini aku tidak tau dan lupa, yang berpengaruh signifikan terhadap perkembanganku di masa kecil. Berbagai benang merah mulai terhubung. Benang kusut pun teruraikan. Tapi semua rasanya semakin membuatku terbakar.
Menulis, musik, membaca buku atau hiburan yang biasanya efektif bagiku mendadak kehilangan dampaknya. Aku bingung karena semakin hari rasanya semakin buruk. Aku merasa tidak berfungsi dengan baik. Semua berantakan. Akhirnya, aku memutuskan untuk konseling via online.
Hasilnya, Aku diminta untuk datang ke psikolog/psikiater untuk melakukan sesi tatap muka, untuk mengetahui apakah Aku butuh psikoterapi atau hal lain. Jujur, Aku belum pernah mengakses layanan kesehatan jiwa di kota sendiri ‘Magelang’.
Isi kepalaku saat itu:

- Gimana cara ke profesional?
- Biayanya gimana?
- Ngomong apa ke orangtua?
- Dan overthinking lainnya
Akhirnya, aku tanya sana sini, browsing sana sini, sampai menemukan cara untuk melakukan sesi konseling di @rsjsoerojomagelang . Coba riset kecil-kecilan nanya-nanya gimana prosesnya (karena jujur kalau gak ada prepare rasanya panik banget).
Oh iya, mungkin sebagai gambaran, kenapa rasanya urgent banget buat Aku saat itu ke profesional, karena udah mengganggu kegiatan sehari-hari. Aku susah fokus, beberapa kali sulit tidur, juga cemas dan panik sampai bikin deg-degan yang tanpa sebab (padahal sebelumnya tidak pernah)
Setelah book jadwal via whatsapp, datang ke poli jiwa untuk di screening, kemudian melakukan sesi konseling. Aku sangat berterima kasih kepada Dokter Santi yang handle dan jelasin dengan sangat jelas apa yang sebenarnya terjadi.
Aku yang udah merasa terganggu beberapa waktu sebelumnya, langsung aja nyerocos gaspol semua yang udah aku siapin untuk disampaikan dan hal-hal yang mengganggu pikiranku. Setelah kurang lebih tiga puluh menit, Aku tanya “Saya ini kenapa sih dok?”
Sebelum menjawab, Dokter Santi bertanya terlebih dahulu. "Sebelumnya Kamu udah coba pelajari dan cari tahu sendiri ya? Ada gak kira-kira pendapatmu sendiri, sebenarnya Kamu ini kenapa?"
Aku menjawab dengan yakin “Untuk mempelajari sih iya, tapi Saya sama sekali gak self diagnose Saya kenapa karena Saya gak merasa punya kapasitas dan ilmu yang cukup. Bener-bener gak mikir Saya ini A B atau C”
Dokter Santi mengambil kertas dan ballpoint, kemudian menuliskan ‘Siklotimia’. Kepalaku langsung mikir “Mahluk jenis apa ini siklotimia? Kok baru pernah denger ya?” — “Ini apa Dok?”
“Siklotimia itu salah satu gangguan mood ringan yang membawa Kamu ke beberapa episode tentang mood.” Dokter Santi menggambarkan grafik tentang mood dan menjelaskannya.
“Jadi, orang di kondisi ideal moodnya ada di kisaran normal dan fluktuatif naik turun tapi masih deket-deket aja. Nah kalau Kamu, sampai di titik hypomania dan dysthimia.” Kalau direfleksikan, sebenarnya relate banget sama apa yang dijelasin.
Ketika ada di fase hypomania, rasanya otak encer banget, ide banyak, kreatif abis, semangat sampai bisa begadang tanpa tidur untuk satu dua hari tanpa merasakan lelah. Dan ini beneran terjadi beberapa kali. Setelah Aku refleksikan, selama kuliah aku beberapa kali mengalami ini.
Sebaliknya, kalau fase dysthimia datang… Kosong, pesimis, kehilangan hasrat untuk melakukan apapun, sensitif, agresif, ingin menyendiri dan banyak lagi. Awalnya memang ini cuma terjadi satu dua kali, tapi semakin kesini semakin sering dan sangat terganggu.
Masalahnya, timing kapan datangnya gak bisa diprediksi. Jadi, kadang lagi ada deadline kerjain A tapi tiba-tiba ngerasa kosong, pesimis, dan hal-hal negatif lainnya… Kadang bikin semakin frustasi sama diri sendiri karena merasa tidak berdaya.
Akhirnya, Aku diminta untuk rutin menulis jurnal monitoring mood harianku ada di titik mana (untuk melihat pola yang terjadi). Kurang lebih selama dua sampai tiga minggu (sampai sekarang), Aku monitor semua datanya untuk kubawa di sesi konseling selanjutnya.
Oh iya, karena sebelumnya Aku mengeluhkan sakit kepala, sulit tidur, dan gangguan cemas atau panik… Dokter kasih aku pegangan obat lima butir (boleh diminum kalau butuh banget dan di malam hari). Selama tiga minggu itu, Aku minum dua karena ada momen yang bikin gak kuat.
Setelah sesi konseling itu, Dokter Santi bilang “Siklus Kamu masih keliatan polanya. Dijaga sebaik mungkin biar gak jadi siklus yang rapid banget. Kayaknya Kamu cukup aware, self help dan self care Kamu juga cukup baik. Jadi gak perlu obat atau apapun itu.”
Mungkin untuk teman-teman yang sudah familiar, gejala yang terjadi pada gangguan mood yang aku alami hampir sama dengan bipolar. Tingkatannya berbeda. Dari grafik tadi, untuk bipolar bisa sampai ke titik Mania & Depresi berat. Bipolar sendiri ada bipolar i dan II.
Siklotimia ada di bawahnya. Menurut riset, 15-50% pengidap siklotimia berlanjut menjadi bipolar. Jadi, Aku benar-benar belajar untuk mengendalikan diri dengan baik dan menjaga kesehatanku secara utuh (fisik, jiwa, dan pikiran) supaya kondisinya stabil.
Okey kita lanjut, Dokter Santi bilang “Kamu dateng aja kesini untuk monitor perkembangannya semakin membaik atau sebaliknya. Beberapa minggu atau sebulan sekali gak masalah.” Di sesi itu Aku juga tanya, gimana cara mengkomunikasikan ke orangtua. Dan akhirnya Aku praktekin.
Awalnya Aku bingung, gimana cara mengkomunikasikan ke orangtua sendiri. Apakah tiba-tiba Aku datang dan bilang, "Mah... Pah... Aku punya gangguan mental." Apakah aku sampaikan lewat chat atau surat? Mikirin caranya aja udah gemeteran saking takutnya.
Saran dari Dokter Santi "Kamu datang dan bicara saat kondisimu sedang baik. Kamu bilang kalau beberapa waktu kebelakang sebenarnya kondisimu sedang tidak baik-baik saja, tapi sekarang tidak masalah lagi. Kamu juga sudah datang ke profesional dan sudah tahu kenapa."
Salah satu hal yang Aku takutkan adalah kesehatan orangtuaku. Mereka masing-masing punya penyakit berat yang seringkali memburuk kondisinya ketika stres terlalu berat. Aku takut membebani mereka.
Dilemanya adalah, kalau aku simpan ini sendirian... Banyak miskomunikasi yang terjadi. Misal kondisiku sedang tidak baik-baik saja, sensitif, mudah tersinggung, dan sulit berpikir jernih. Tapi orangtua butuh bantuan untuk melakukan sesuatu (misalnya). Bingung kan?
Cepat atau lambat, semua akan sama-sama tahu. Dari pada nunggu nanti-nanti, aku merasa tidak nyaman karena diriku sendiri... Yasudah, Aku coba ikuti saran Dokter Santi.
Kalimat pembukaku terdengar payah. Inget banget ngomong gini "Mah Aku mau ngomong." Dan dijawab gini "Mau ngomong sama siapa?" HAHAHA Serius waktu itu kejadiannya gitu. Untuk bisa ngomong empat kata receh itupun, Aku gemetar, keringat dingin, mulut kaku.
Di dalam pikiran dan hati, rasanya seperti harlem shake. Tapi Aku coba paksain. Aku mulai dengan minta maaf kalau misal beberapa waktu ke belakang ada tindakan atau perkataan dari Aku yang rasanya tidak enak atau tidak pantas.
Aku lanjutkan dengan bilang kalau sebenarnya beberapa waktu kebelakang, kondisiku benar-benar tidak enak. "Aku beberapa kali bilang pergi keluar mau ke cafe. Sebenarnya iya ke cafe, tapi itu setelahnya. Aku ke RSJ untuk konseling terkait kondisiku sekarang dengan psikiater."
Mama mengernyitkan dahinya dan belum merespon apapun, Aku melanjutkan. "Kalau berdasarkan diagnosis dari Psikiater, Aku punya siklotimia. Coba deh sambil browsing." Sembari orangtua browsing, Aku juga menjelaskan dengan bahasa yang paling sederhana tentang ini.
"Terus gimana?" Aku menjelaskan juga apa yang disampaikan oleh Dokter saat itu, terkait kedepannya apa saja yang perlu Aku lakukan. Setelah satu nafas panjang, Aku menambahkan "Aku minta maaf kalau kemarin gak bilang tentang ini, Aku takut Mama kenapa-kenapa karena tau ini...
Sebelumnya, kondisi Mama selalu drop setelah mendapat stressor terlalu berat." Tapi kali ini mama menjawab dengan tenang dan tegas. "Justru bagus. Kamu melakukan hal yang benar dengan pergi ke psikiater. Mama dulu juga pernah begitu untuk cari tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Setelah itu Aku mulai menjelaskan alasan atas beberapa tindakanku beberapa waktu kebelakang (secara pandemi ini memenjaraku di dalam rumah, otomatis semua kegiatan aku lakukan di rumah.). Bisa dibilang 80% waktuku ada di Kamar.
Bahkan ada beberapa kali kesempatan Aku dengan sengaja menghindari interaksi dengan orangtua, karena sedang merasa tidak baik. Aku takut merespon dengan agresif dan sensitif, jadi aku seperti mengasingkan diri.
Aku ingat @wordfangs pernah ngomong intinya kira-kira gini, ketika kita menuangkan sesuatu melalui karya untuk kita komunikasikan, rasanya pasti takut dan deg-degan. Tapi itu ibarat kita cabut bulu kaki atau bulu hidung yang bikin lega setelah kita lakukan.
Kurang lebih, itu yang Aku rasakan. Sebelum dan saat Aku mengkomunikasikan apa yang Aku alami ke orangtua, rasanya takut, gemetar, dan panik bukan main. Tapi setelahnya Aku merasa lega dan toleransi bisa muncul dari situ.
Aku ingin berterima kasih ke diri sendiri karena tidak self diagnose, karena itu akan memperburuk sistuasi. Karena hasil dari self diagnose biasanya berupa overthinking. Aku bersyukur atas apa yang sudah Aku lakukan dan sangat berterimakasih kepada orangtuaku yang mau menerimaku.
Sekarang ini Aku benar-benar sadar kalau menjaga kewarasan di tengah kondisi yang tidak pasti dan relatif panas ini sama sekali tidak mudah, tapi wajib. Selain itu, Aku tidak sendirian. Jangan terlalu mudah percaya dengan pikiran negatif kita sendiri. Coba kita validasi.
Ternyata banyak sekali orang yang punya masalah dengan kesehatan mental dan keluarga. Dengan banyaknya cerita yang Aku dengar, pengalaman pribadi, dan dorongan untuk memberi manfaat ke sekitar... Sekarang ini Aku sedang dan akan membantu @behome_id untuk tumbuh.
Broken home bukan hanya tentang status pernikahan, apakah orangtua bercerai atau tidak. Ketika ada satu saja pihak di dalam keluarga yang tidak menjalankan fungsi dengan semestinya, bisa dibilang ia broken home. Broken home juga sangat erat dengan isu kesehatan mental.
Dalam beberapa kasus, kita ibarat daun yang gugur dari pohon. Kita tidak bisa lagi menjadi daun yang melekat di ranting yang sama. Tapi, pengalaman dan sudut pandang baru membuat kita bisa mendapatkan fungsi baru. Tidak ada yang terjadi secara kebetulan, semua punya alasan.
Setidaknya itu yang ingin Aku bagikan dan sampaikan. Terima kasih kalau ada yang membaca sampai di cuitan entah yang ke berapa ini.

Untuk teman-teman pejuang kesehatan mental, apapun yang terjadi... Kamu hebat dan kuat! Tetap berjalan dan bernafas, rehat pun tidak masalah.
Untuk teman-teman yang mungkin sekarang masih baik-baik saja atau sedang berjuang dengan hal lain, semangat ya? Tidak semua hal terasa mudah. Semua orang punya perjuangan dan perjalanannya sendiri. Jadilah diri sendiri, kalau perlu selami diri sendiri.

Semesta bersama kalian
You can follow @bbramastya_.
Tip: mention @twtextapp on a Twitter thread with the keyword “unroll” to get a link to it.

Latest Threads Unrolled: