Gue ngerti kenapa kalian prihatin dengan kerusakan fasilitas umum, tapi nuwun sewu, mau itu tanaman, halte, transportasi, bangunan, sekali lagi, semuanya bisa dibangun kembali. Orang orang yang hidup dan kehidupannya hilang, nggak bisa.
Jangan kepeleset ke setapak licin ‘iya tapi’ dengan bermain perspektif, amarah yang mengakibatkan kerusakan itu valid, dan meletakkan fokus ke benda benda mati sementara hidup dan penghidupan orang riskan itu insensitif dan keliru dalam masa urgensi.
Lha ya wong namanya protes, harus dibuat nggak nyaman dong agar poinnya sampe. Aksi penolakan yang madani sudah dari lama, dari tahun kemaren. Masa yang nggak nyaman cuma pemerintah dan aparat? Bagaimana kita kita yang ngetwit ini dari kenyamanan rumah kita?
Kalau kalian masih merasa kerusakan ini nggak bisa dijustifikasi, dan beberapa dari kalian itu temen gue, tolong deh pikir lagi...apakah sebanding kerusakan fasilitas umum dengan hidup dan penghidupan orang?
Terserah mau pesan apa yang terkirim dengan kerusakan fasilitas umum, tapi apakah ini waktunya untuk menitikberatkan kerusakan itu saat selama ini hutan sudah terbakar, kampung digusur, penghidupan dihilangkan, dan hak dasar pekerja dibatasi?
Uang rakyat juga dipake buat menggaji pemerintah dan aparat yang atas nama mengatur negara dan ekonomi, mengopresi dan membungkam rakyat. Lebih disayangkan yang mana?

Kalau kita merasa nggak nyaman, ya pesannya sampai. Artinya kita masih salah fokus terhadap urgensinya. https://twitter.com/bid_the_bear/status/1314185860099702785
Kerusakan fasilitas umum untuk menyampaikan pesan kemuakan ya yang paling mudah, karena dekat dengan titik demo dan digunakan oleh umum tapi tidak ‘padat’. Kalau rumah anggota DPR (daerah residensial) yang kena, casualty-nya bisa banyak, *itu* yang berabe.
Itu sebagian kenapa fasilitas umum yang kena. Jadi coba deh, iya gue ngerti sayang, gue juga sayang kok karena gue yang penyandang disabilitas ini menganggap fasilitas umum mempermudah hidup gue, tapi apakah itu sebanding dengan kerugian hidup & penghidupan?
Nggak semua harus turun ke jalan, dan dengan kita mendukung mereka dan menyuarakan aspirasi kita sebisa kita itu sudah bagus, tapi nuwun sewu, kalau memang mau cocot online kita dianggap sebagai bentuk partisipasi politis yang valid, setidaknya jangan salah fokus.
Yang muncul di benak kalian ‘kan sayang fasum justru dipakai rakyat, nanti rakyat makin susah’ ya kalau begitu pesannya sampai. Nggak nyaman kan? Susah akses transportasi aja bikin elu kagak nyaman. Gimana yang selama ini susah makan dan sakit tapi gak mampu berobat?
Percuma kalau yang ‘nggak nyaman’ cuma pemerintah dan aparat, kalau mereka semua hilang, yang menggantikan kekuasaan mereka ya dari rakyat juga. Dipikir mereka asalnya dari mana? Dalam kata lain, kekuasaan itu tersemat di masyarakat kita.
Kemaren ada yang bilang ‘semoga pemerintah boomer dan gen x cepet meninggal biar diganti millennial dan z’, lah lu pikir yang millennial dan z gabakal sama aja, sebagai pewaris kekuasaan sistem yang sama? Maksudnya begitu.
Dalam sebuah masa urgensi, kita rakyat yang masih bisa mencari aman dan melihat dari kejauhan punya privilege atau kekuasaan tertentu. Nggak salah kok kita aman. Tapi jangan udah aman terus ignorant mentang mentang aman. Bagus kalau merasa nggak nyaman.
‘Mahasiswa sebaiknya belajar’ dan ‘buruh harusnya menyampaikan aspirasi dengan damai’ itu sudah dilakukan dari LAMA. Isu Omnibus sudah SETAHUN lamanya, tapi taunya disahkan semasa pandemi saat hidup dan penghidupan rakyat sudah dalam bahaya.
Kenapa dalam bahaya? Karena dari awal pemerintah lebih peduli dengan kepentingan investasi yang memang dianggap akan membantu membangun bangsa, tapi mana hasilnya buat rakyat?
Lo kira marah, ricuh, dan kerusakan muncul mendadak? Lha ya wong memuncak karena rakyat nggak didengar dan dibungkam.
‘Kan lagi pandemi, ngapain ngumpul rame, naikin cluster ntar’ Kaum pekerja udah kena risiko kena COVID-19 SETIAP HARI karena harus tetep keluar ke dunia buat penghidupan. Kita yang bisa kerja dari rumah itu tolong sadar diri kek.
Jadi hadirin sekalian yang kelas menengah ke atas dan berpendidikan, gausah patronizing dengan ‘udah baca semuanya belom?’, ‘demo boleh tapi harusnya...’, dll.

Coba liat di mana diri kalian duduk. Kenyamanan kalian itu ada atas ketidaknyamanan orang lain.
Dan mereka yang tidak nyaman demi kenyamanan kita sekarang sudah muak dan marah karena selama ini diopresi, dibungkam, dan diabaikan.
Jadi tolong deh, sebelum komentar soal fasilitas umum, soal risiko COVID-19, soal harus begini begitu...liat bumi yang lo pijak dulu. Mereka berhak untuk marah, dan kalau kita marah, setidaknya arahkan ke yang membuat mereka marah.
Mbak, saya rasa kita sebagai masyarakat sudah banyak belajar dari 98, tapi nyatanya banyak yang lupa kenapa aksi kerusakan bisa terjadi. Kerusakan sangatlah minim dibanding dampak tangan pemerintah dan aparat dalam 5 tahun ke belakang aja. Mau mewajarkan yang mana? https://twitter.com/waw_niken/status/1314197898381336582
Plus, ini lain soal lah, penyebaran provokasi dan pecah belah. Intinya tetep inget, ini aksi karena apa dan apakah kerusakan yang ada tetep sebanding dengan:
1. Kelas pekerja yg harus bekerja di luar semasa pandemi sehingga meningkatkan risiko kesehatan mereka semasa pandemi
2. Buruh pabrik yang dieksploitasi hak dasarnya mengenai cuti, jam kerja, dan kesehatan.
3. Rakyat Papua Barat yang selama ini aspirasinya dibungkam, sumber dayanya dihisap, dan masyarakatnya di bawah kuasa aparat.
4. Hutan yang hancur karena lahan sawit dan komoditas lainnya.
Sekali lagi, dibanding dengan apa? Duduk manis sementara lagi lagi petani digusur, hutan dibakar, buruh dieksploitasi, dan rakyat Papua dijajah dan sumber dayanya dihabiskan? Dibanding kehilangan hidup dan penghidupan? https://twitter.com/agnityyys97/status/1314200282713092096
Fasilitas umum yang rusak itu adalah kasualitas kecil dibanding 11.580 orang yang harus meninggal semasa COVID-19 karena pemerintah mendahulukan ‘ekonomi’ dibanding keamanan dan kesejahteraan rakyat terlebih dahulu. https://twitter.com/nadyasrw/status/1314202668018016263
‘Tapi kan kalo fasum dirusak ntar pemerintah malah untung dari proyek lagi’

Kerusakan fasilitas umum jelek? Iya. Tapi kasualitas kecil. Bukan soal pemerintah untung lagi atau enggak. Ini soal keresahan rakyat yang memuncak dan konsekuensinya. Kalo lo gak nyaman, pesan sampai.
Udah deh, jangan lupa ini semua keributan terjadi karena apa. Janji manis progres berbuah busuk dengan aspirasi rakyat yang kian dibungkam dan diabaikan.

‘Ini provokasi!’ emang iye bor. Makanya inget masalahnya di mana: DPR yang gak mewakilkan rakyat.

jan inget provokasinya
Sekali lagi, ini bukan soal pemerintah untung rugi. Kalau nggak ada uang makan di bawah yang dikorting karena ada proyek, ya tetep aja duit bakal di-misuse oleh sistem yg sama. Inti thread ini cuma satu: ini bukan soal fasum rusak, ini soal hilangnya hidup dan penghidupan orang.
Apakah argumentasi ini valid? Iya, tapi ini diskursus lain hari. Meminta masyarakat untuk tidak fokus terhadap kerusakan fasum yang diakibatkan keresahan masyarakat akibat ketidakadilan dalam skala nasional tidaklah sama dengan ‘melazimkam kegiatan anarkis’. Missing the point.
Ya halo gue juga gasuka fasum rusak, karena kalau ini lagi nggak pandemi jg fasum itu gue pake. Tapi, mengetahui segala akar keresahan masyarakat dlm bbrp tahun ke belakang yang memuncak di titik ini, ya gue memilih untuk tidak salah fokus dgn mempermasalahkan kerusakan fasum.
You can follow @NightmareCrone.
Tip: mention @twtextapp on a Twitter thread with the keyword “unroll” to get a link to it.

Latest Threads Unrolled: