Sebenernya, Omnibus Law ini tragis. Menginjak-injak Pancasila (atau setidaknya elemen "Sosialisme" dari Pancasila).

Tapi, sikap menolak Omnibus Law (atau UU pro-Pasar-Bebas pada umumnya) itu mirip sikap menolak GoJek/Grab dengan alasan "mengurangi rezeki ojek pangkalan/offline". https://twitter.com/SoundOfYogi/status/1313087526790328323
Awal 2000-an—waktu awal-awal Indomaret jadi waralaba dan gencar ekspansi gerai di Indonesia, gerai-gerai Indomaret itu dilemparin batu sama para preman utusan pemilik toko-eceran-tradisional.

Alasannya ya karena barang di Indomaret lebih murah. Toko-eceran lain jadi kalah saing.
2015–2017, awal ojek online masuk pasar Indonesia, para ojek pangkalan juga ngusir, mukulin, dan ngerampok pengemudi ojol yang mereka temui.

Kenapa? Karena ojek online itu berani "banting harga". Penumpang bayar 4000 per kilometer. Kalau ke opang, penumpang bayar 10.000+ per km.
Siapa yang dirugikan oleh kedatangan Pasar Bebas transportasi bernama GoJek dan Grab [dan Uber]? Tentu saja para pengemudi ojek pangkalan.

Siapa yang diuntungkan oleh Pasar Bebas jasa transportasi? 4.000.000 pengemudi ojek online, plus seluruh konsumen transportasi di Indonesia.
Berapa sih tarif jasa-ojek yang "sesungguhnya"? Kenapa ojek online bisa ngasih tarif 4.000 per kilometer, sementara ojek pangkalan ngasih tarif lebih mahal, 10.000 per kilometer?

Apakah mamang ojek-pangkalan korupsi? Ataukah justru pengemudi ojek-online sedang sedekah amal-baik?
Jawabannya: ojek online berprinsip "Pasar Bebas". Tarif ditentukan oleh kesepakatan antara penumpang dan pengemudi. Mau jual murah, silakan.

Sementara, ojek pangkalan menggunakan prinsip "Proteksionisme". Organisasi ojek pangkalan sepakat untuk melarang anggotanya banting harga.
Di sebuah pangkalan ojek, kalau ada tukang ojek yang ketahuan menawarkan tarif per-kilometer di bawah "harga minimum organisasi", si tukang ojek itu akan dimarahin, digebukin, diusir oleh para tukang ojek lainnya.

Prinsipnya: "Walaupun penumpang sepi, nggak boleh banting harga."
"Proteksionisme" ojek pangkalan ini merugikan calon-konsumen (i.e. orang yang punya keinginan mau pindah tempat dari titik A ke B).

Karena harganya kemahalan [dan nggak boleh nawar], calon-konsumen batal pakai jasa ojek-pangkalan. Opang nggak dapat duit, ca-kon nggak dapat jasa.
"Proteksionisme" itu kebijakan yang dilandasi paksaan, ancaman, dan hukuman-bagi-pelanggar.

Bandingkan dengan prinsip "Pasar Bebas" yang berbasis persaingan, sukarela, dan kesepakatan. Kalau sepakat harga segitu ya silakan transaksi. Kalau nggak sepakat, ya nggak usah transaksi. https://twitter.com/Okihita/status/1293592197464338433
Tsk, kesimpulan yang jauh melenceng dari prinsip "Pasar Bebas". Di Pasar Bebas [seperti juga di pasar-tradisional]: "Pembeli adalah raja."

Konsumen adalah raja. Belajar rajin dan kerja keras pagi-sore-siang-malam tidak ada gunanya kalau tidak bisa menyediakan kebutuhan konsumen. https://twitter.com/midweek_/status/1313186044708184064
Di Indonesia, konsep "UMR" (atau lebih tepatnya UMK/UMP) itu contoh "Proteksionisme". Pengusaha—baik kecil atau besar—bakalan kena pidana kalau membayar karyawan/buruh di bawah UMK setempat.

Sebagai perbandingan, UMR Hanoi (Vietnam) itu USD 190. UMR Karawang (Jabar) itu USD 310.
(Tret ini pake sudut-pandang Jawa-sentris, jadi mungkin nggak sepenuhnya nyambung sama keadaan di Indonesia Tengah atau Timur.)

Jika UMK sebuah daerah tinggi, para orang kaya di daerah itu, walaupun sebenarnya punya ide usaha, akan mikir berkali-kali sebelum berani rekrut orang.
Kenapa UMR tinggi membuat pengusaha [baik kecil maupun besar] jadi deg-degan dan ragu-ragu membuka lapangan pekerjaan dan merekrut karyawan?

Karena "gaji karyawan" itu PENGELUARAN WAJIB TIAP BULAN—sementara "pemasukan dari hasil penjualan produk usaha" itu TIDAK PUNYA KEPASTIAN.
Catatan: "UMR" itu cuma berlaku buat lapangan-kerja formal, dari pemberi-kerja yang berbadan hukum. PT atau Koperasi, misalnya.

Sektor informal nggak pakai "UMR". KALAU ada pemilik warung-kecil mau rekrut gue sebagai koki DAN GUE MAU, gaji di bawah UMR itu nggak melanggar hukum.
Catatan bahwa "UMR tidak berlaku di bidang informal" ini sebuah konsep dasar yang penting dan wajib dipahami oleh yang mau mengerti Omnibus Law.

KHUSUSNYA MAHASISWA. Mahasiswa adalah kalangan paling awam, paling pede, sekaligus paling gampang dihasut dari populasi sebuah negara.
Ditambah, mahasiswa biasanya nggak punya identitas-publik yang bisa mereka banggakan. Generasi yang bingung mencari tujuan dan alasan hidup.

Jika ada hasutan, "Jika kamu ikut nolak UMR-turun, kamu PASTI akan menjadi pahlawan bagi Indonesia," langsung kemakan tanpa pikir panjang.
OOT dikit: Mengenyam pendidikan-formal sampai jenjang perguruan-tinggi tidak serta-merta membuat seseorang pasti berpikiran terbuka.

Ini cara buat tau apakah seseorang berpikiran-terbuka: Tanyakan ke dia, "Apa bukti/informasi yang bisa kukasih yang akan mengubah pandangan kamu?"
Tret ini bukan pro Omnibus-Law. Mau tetap berusaha ngebatalin UU Cilaka? Silakan. Mau bunuhin satu-satu anggota DPR, kudeta bikin negara baru? Silakan.

Tret ini untuk menjelaskan hubungan sebab-akibat, serta berdamai dengan kenyataan "semua negara akan neoliberal pada akhirnya".
Kenapa Omnibus Law itu tergolong menginjak-injak Pancasila? Karena pro investasi luar-negeri besar-besaran demi lapangan-kerja. Ini kebijakan neo-liberalis, yang bertentangan dengan sikap-asli Pancasila, yaitu Komunisme.

Iya, nggak salah baca: [Versi asli] PANCASILA ITU KOMUNIS. https://twitter.com/Okihita/status/1312347453438320640
1945–1965, di bawah manajemen Soekarno, banyak kebijakan Indonesia yang pro-Komunisme/Sosialisme. Larang impor. Larang ekspor. Haram investasi asing. Ekonomi harus mandiri.

1965, terjadi perang saudara yang mengganti ideologi negara. Baru di titik ini ide Komunisme di-iblis-kan. https://twitter.com/Okihita/status/1312352059035807746
Di masa Soekarno, dengan aliran dan kebijakan Komunisme/Sosialisme, terjadi inflasi 600%. Tidak ada kemakmuran. Hampir tidak-ada lowongan pekerjaan. Negara mati.

Soekarno—yang hanya ahli "tata kata" dan bukan ahli "tata kota", tidak punya solusi apa-apa selain bikin jargon baru.
Perang saudara 1965–1966 mengubah ideologi Indonesia dari pro-Komunis ke pro-Neoliberal.

Pembantaian-Komunis itu setara Void-Century di Indonesia. Sejarahnya ditutupi—bahkan dihilangkan. Tapi, mirip kata Prof. Clover, generasi ini tetap punya kewajiban mencari tahu kebenarannya.
Ini bahaya-sebenarnya Komunisme/Sosialisme: Penerapan skala-besarnya membawa kelaparan, kemiskinan, penindasan, dan kehancuran-peradaban.

Di Kuba, pemerintah menyuruh rakyat-miskinnya aborsi. Di Vietnam, hanya dua-anak-pertama yang dapat akta lahir. Anak ketiga? Penduduk ilegal.
(Hi Readers. Thanks for the appreciations. Sorry I haven't resumed this thread again after one day. I still have my other, higher-priority duties.

Stay open-minded. Wherever you stand now, seek facts and arguments that contradict your current belief, and judge more objectively.)
You can follow @Okihita.
Tip: mention @twtextapp on a Twitter thread with the keyword “unroll” to get a link to it.

Latest Threads Unrolled: