Bismillah, ini hari kedua sejak istriku dimakamkan di Pemakaman Khusus Covid di Macanda, Gowa, Sulawesi Selatan. Setelah pemakaman di malam itu, aku kembali lagi ke rumah isolasi mandiri. Seorang diri.
Setiap kali air mataku jatuh, aku ingat kembali nasehat istriku sewaktu hidup.

"Kanda, Allah mengangkat derajat orang yang ikhlas."

Itu salah satu nasehat yang sering disampaikan istriku ketika aku sedih & pesimis. Atau ketika di tengah malam aku menangis karena mimpi buruk.
Almarhumah Amirah Lahaya bukan hanya sekedar istriku. Amirah adalah guruku. Orang yang membuat pribadi dan hidupku jauh lebih baik. Dalam hidupnya, tidak pernah sekalipun ia tidak mendukungku. Ia menyemangatiku, mendoakanku, mencita-citakan kebaikan untukku, menjaga nama baikku.
Amirah, aku sudah ikhlaskan semua yang ditetapkan Allah SWT atas hidupmu dan keluarga kecil kita. Sebagaimana dulu nasehat yang selalu kau ulang sewaktu kita mendayung bahtera di samudera kehidupan. "Ikhlaskan, kanda," demikian nasehatmu, memanggilku dengan sapaan favoritmu.
Beberapa jam menjelang kepergianmu, kamu masih sempat menghubungiku, meminta untuk mengikhlaskan keadaanmu yang telah seminggu terbaring. Aku iyakan, aku ikhlaskan, agar hatimu damai. Hari itu, tak pernah kusangka, perjanjianmu dengan Allah SWT sudah sampai di penghujungnya.
Kini engkau sedang menuju sebuah kampung, di mana aku dan Aruna serta semua manusia akan tiba waktunya juga untuk turut berangkat ke sana. Kampung itu adalah kampung Akhirat. Allah ternyata sudah sangat rindu untuk memelukmu, Amirah.
Selamat jalan Amirah. Engkau mati satu kali, namun hidup selamanya.

Dari aku yang selalu bangga pernah hidup denganmu. Muhammad Ihsan Harahap Daeng Rate.

Gowa, Jumat (25/09/2020)

Dalam ingatan istriku,
Amirah Lahaya
(Selasa, 21 Februari 1989 - Rabu, 23 September 2020)
Mohon doanya untuk Aruna Zakiyah Ihsan. Putri kami yang berusia 16 bulan. Semoga Aruna tumbuh menjadi anak yang sehat, salehah, cerdas, dan bermanfaat untuk orang banyak 🙏🏻
Tepat 7 hari lalu, Jumat (18/09/2020), saat masih di-opname di RS non-covid, kamu ingin menonton adegan ketika Zainuddin dan Hayati berbincang di akhir film, di mana Hayati membacakan surat perpisahannya. Seolah itu pesanmu sendiri kepadaku bahwa sebentar lagi kita akan berpisah.
Kita selesai menonton film itu pada pukul 10.00 pagi. Tidak lebih dari 15 menit kemudian, dokter menelfonku, aku terisak. Aku sengaja mengambil jarak darimu. Dokter mengatakan hasil swab kemarin positif. Di sanalah Allah memberikan tanda kepergianmu.
Siang hari menjelang sore, kamu dipindahkan ke RS Sayang Rakyat, 1 dari 3 RS di Sulsel yg khusus menangani covid. Ingatkah kamu, kita berangkat pukul 15.10? Itulah saat terakhir kali aku mendampingimu di dalam ambulans. Sesampai di RS, kita berpisah. Aku diminta isolasi mandiri.
Esoknya, Sabtu (19/09/2020), dokter mengabariku bahwa kamu harus dipindahkan ke ICU. Memang kadar trombosit, leukosit, dll, dalam darahmu terus turun semenjak diopname di RS sebelumnya. Tubuhmu berjuang melawan virus itu. Engkau selalu mengabariku meski sakitmu semakin parah.
Ahad, 20 September 2020, tepat di ulang tahunku yang ke-28, kamu mengucapkan selamat untukku. Meski hatiku hancur lebur. Kamu, Aruna, aku, tinggal di tiga tempat berbeda. Kusemangati kamu untuk terus berjuang hingga sembuh.
Namun kondisimu terus menurun. Senin berlalu, selasa berlalu. Rabu datang, dan kamu telfon aku baik-baik, meminta izin untuk dipasangkan ventilator karena saturasi oksigen di tubuhnya tinggal 74%. Kubaca di internet, saturasi untuk tetap hidup minimal 95%.
Dokter menelfonku bahwa setelah dipasangi ventilator, saturasinya naik ke 90%. Beberapa menit kemudian, dokter memberitahu lagi, saturasinya turun sedikit demi sedikit. Aku diminta berdoa.
Tidak berapa lama, seorang perempuan menelfonku, dia perawat di ruangan ICU. "Ibu sudah tidak ada, pak". Di situlah duniaku tiba-tiba gelap, langit runtuh, tanah yang kupijak amblas ditelan bumi.
Aku diminta datang segera ke RS Sayang Rakyat. Di sana sudah ada ibumu, ayahmu, adik, dan pamanmu. Aku harus kelihatan tegar di depan mereka. Meskipun separuh jiwaku, yaitu Amirah, sudah dipanggil ke haribaan-Nya.
Sebagai seorang suami, aku ingin melaksanakan wasiatmu: dibersihkan jenazah dan disalatkan. Aku membawa pakaian ganti, dan tim dokter dan perawat memakaikanku APD selama 30 menit.
Ketika APD-ku telah terpasang dengan rapat, perawat yang mendampingi memegang pundakku sebelum masuk ke ruang pemulasaran jenazah. Aku berusaha tegar. Aku tidak boleh menangis di depanmu.
Sedihku tak terbayang di hati, namun aku tak mau menangis. Di ruang itulah, aku melihatmu kembali. Wajahmu tidak berubah, tiada beda seperti ketika aku membuka pintu kamar tidur kita dan melihatmu tertidur bersama Aruna, ketika engkau masih hidup.
Berlapis-lapis kain disiapkan, dengan disinfektan berkali-kali. Aku bangga karena aku menunaikan wasiatmu. Tanganku sendirilah yang membersihkan jenazahmu, membelai wajahmu terakhir kali.
Setelahnya, aku dan para perawat membungkus jenazahmu. Amirah, kamu cantik dan selalu tersenyum seperti saat hidupmu. Tak terasa, proses mengkafanimu telah selesai. Aku memimpin salat jenazah. Pintu dibuka sedikit, agar keluargamu bisa ikut salat 25 meter di belakang sana.
Takbir pertama kumulai. Kubacalah al Fatihah. Teringatlah diriku, kenangan saat kita sering salat berjamaah di kamar, dan engkau di belakangku. Kini, engkau kusalatkan untuk perjalanan menuju Tuhan.
Takbir kedua, kubaca salawat Nabi. Teringatlah aku kembali, dirimu yang sering memintaku bersalawat dengan suara yang terdengar. Engkau sering memintaku bersalawat saat hatiku tak tenang. Takbir kedua itu kuhayati dengan harapan agar kau diberi syafaat di Padang Mahsyar kelak.
Takbir ketiga, kumohonkan ampunan Allah untukmu. Allahummaghfirlaha warhamha waafiha wa'fuanha. Ya Allah, ampunilah, sayangilah, selamatkan, dan maafkan semua kesalahan istriku!
Takbir keempat, kututup doa yang diajarkan Nabi: Ya Allah, janganlah engkau meluputkan kami akan pahalanya, jangan tinggalkan fitnah sepeninggalnya, dan ampunilah kami, dan ampunilah dia. Kututup dengan salam dan doa untukmu.
Tim Satgas pun datang, bersama ambulan, dan kendaraan pengawal. Mereka menaikkanmu ke sana, dan menungguku selesai mandi, bersih2, dan proses lainnya, agar bisa ikut mengantarkanmu ke tempat terakhirmu di dunia.
Pukul 22.30, berangkatlah kita menuju Pemakaman Pemprov Sulsel di Macanda, Gowa. Di sana, dibuka tanah baru untuk kompleks pemakaman khusus covid.
Di gerbang pemakaman, sesuai protokol, di sana kita berdoa, tepat di luar ambulans di mana engkau terbaring. Ustaz Azizi, masih kuingat namanya, yg memimpin doa untk keselamatanmu. Hingga Jumat tadi Pesantren Gontor, kantor, & beberapa masjid pun turut tunaikan salat gaib untukmu
Selamat jalan istriku. Aku dan Aruna ikhlas menerima semuanya, seperti ajaranmu kepadaku semasa hidupmu yang indah itu. Cintamu yang suci telah mengubah hidupku. Selamat jalan bidadari surgaku. Insyaallah engkau syahid karena berpulang oleh wabah. Sampai jumpa lagi di alam sana!
Ini lagu yang terdengar saat adegan pembicaraan terakhir Zainuddin-Hayati, film yang terakhir kali kita berdua tonton di rumah sakit, istriku.

Semoga engkau dibaluti Rahmat Tuhan di sana!
You can follow @ihsanjie.
Tip: mention @twtextapp on a Twitter thread with the keyword “unroll” to get a link to it.

Latest Threads Unrolled: