Di utas ini, saya ingin berbagi tentang beberapa challenges selama perjalanan PhD sampai berhasil lulus dan alhamdulillah mendapat 2nd winner Queen Mary UK Best PhD in Robotics Award 2019. Mungkin sudah banyak yang membahas PhD journey-nya, tapi moga-moga tetap ada manfaatnya.
Sebelum mulai, saya ingin memberi penekanan dulu bahwa perjalanan studi doktoral itu tak beda dengan perjalanan hidup yang naik-turun. It wasn't all plain sailing. Jadi, kalau kamu merasa studi S3-mu penuh lika-liku, it's perfectly fine.
Ini juga sekaligus "peringatan" buat yang mau ambil S3 agar benar-benar mempertimbangkan dengan matang sebelum memutuskan untuk memulai. Kalau masih belum tahu untuk apa ambil S3 atau sekedar coba2, sebaiknya tunda dulu.
Challenge 1: barangkali yang paling berat di antara semuanya adalah ketika ayah saya wafat di bulan kelima saya memulai PhD. Kepergian ayah termasuk mendadak, dirawat di RS selama 2 pekan sebelum wafat. Ini merupakan tantangan berat karena saya anak ke-1 dari 3 bersaudara.
Saat itu, ibu saya juga tidak bekerja. Bukan hanya soal finansial, tapi juga psikologis ibu dan adik2. Rumah lebih sepi karena berkurangnya 2 penghuni. Jarak dan beda waktu London-Jogja juga menjadi tantangan tersendiri. Tentu saja PhD saya sempet "terbengkalai" beberapa pekan.
Alhamdulillah di saat2 berat itu, keluarga saya sangat mendukung saya untuk melanjutkan studi. Selain bisa menyisihkan sebagian beasiswa untuk hidup keluarga, saya juga menawarkan diri ke supervisor untuk menjadi research assistant di project-project beliau.
Awalnya saya ragu soal pembagian waktu, tapi progress dalam beberapa bulan awal membuat supervisor percaya saya bisa menghandle project sambil mengerjakan penelitian PhD. Belakangan justru banyak keterkaitan antara keduanya sehingga saya bisa mengerjakan keduanya sekaligus.
Di sini menurut saya pentingnya dukungan penuh keluarga dalam studi S3. Apalagi durasinya bisa 4-6 tahun. Setelah menikah pun, istri saya bukan cuma mendukung 100% tapi juga banyak membantu dalam penulisan tesis saya.

Challenge 2: Ilmu dasar yang kurang. Kebetulan saya ambil S3 tanpa melalui S2. Programnya M.phil/Ph.D jadi kalau tahun pertama progress bagus langsung otomatis jadi Ph.D Candidate. Di UK program S3-nya tanpa courseworks. Tidak ada kelas kecuali soal research & writing skill.
Karena itu di awal2 studi S3, saat membaca literatur, sangat terasa kurangnya ilmu2 dasar yang diperlukan untuk memahami literatur. Di S1 pun, proporsi mata kuliah ilmu dasar di TE UGM yang saya dapat masih sangat kurang, berbeda dengan sekarang yang sudah bertambah proporsinya.
Solusinya, saya banyak menghabiskan masa awal PhD untuk belajar lagi mata kuliah dasar. Linear algebra, non-linear control, system dynamics adalah topik2 yang saya pelajari secara otodidak dari buku maupun video tutorial online. Alhamdullilah resource-nya melimpah saat ini.
Challenge 3: Supervisor pindah kampus. Di akhir tahun pertama, supervisor saya tiba2 mengumumkan kalau beliau akan pindah ke universitas lain dalam waktu 4 bulan. Ini sangat mengejutkan karena beliau sudah berada di King's College London selama >20 tahun sejak PhD.
Imbasnya: beliau tidak lagi bisa menjadi supervisor pertama saya kecuali saya ikut pindah yang tentu prosesnya akan rumit dan tidak mudah. Padahal beliau sudah membimbing saya dari 0 dan bersama-sama mengembangkan ide riset saya sampai lumayan matang.
Untungnya beliau cuma pindah ke Queen Mary, kampus lain di London yang hanya sejauh 1/2 jam naik kereta dari kampus saya. Solusinya: saya tidak pindah dan beliau jadi pembimbing kedua. Alhamdulillah pembimbing pertama yang baru bersedia saya tetap lanjut dengan topik yang sama.
Challenge 4: Kesepian. Ini bukan galau tapi lebih kepada kenyataan bahwa PhD adalah perjalanan individu. Tidak ada kelas. Tidak ada teman sekelas. Ada teman lab atau rekan 1 bimbingan, tapi tidak ada yang topiknya 100% sama. Ada supervisor tapi mereka tidak akan menemani 24/7.
Kadang ada teman2 yang sudah lumayan akrab tapi kemudian pergi usai lulus dari sidang PhD-nya. Kadang buntu di tengah2 riset dan jarang ada yang bisa membantu sampai tuntas karena memang topiknya tidak 100% sama. Kalau terlalu teknis, kadang supervisor pun tidak bisa membantu.
Solusinya: perluas pergaulan. Diskusi dengan mahasiswa2 doktoral lain tetap sangat membantu karena mereka adalah teman senasib sepenanggungan. Saya juga terbantu karena ikut beberapa komunitas pengajian masyarakat Indonesia di London yang orangnya ramah2.
Selain itu saya juga terlibat dengan beberapa projek bareng mahasiswa Indonesia dan sempat ikut beberapa kompetisi berkelompok (Imagine Cup, MATLAB Mars Rover Challenge), salah satunya juga untuk memperluas pergaulan agar tidak jenuh.
Challenge selanjutnya nomor berapa ya? Sampai lupa karena banyak. Hahaha.
Challenge 5 ternyata: bosan. Bayangkan kamu harus berkutat di 1 topik yang sama selama 4 tahun. Sesuka apa pun kamu terhadap topik yang kamu geluti, pasti ada momen kejenuhan. Apalagi kalau topiknya tidak disukai.
Apalagi, seperti yang saya singgung sebelumnya, tidak ada teman selab yang topiknya 100% sama. Jadi kalau stuck ya harus berpusing ria sampai ketemu solusinya atau cari jalan lain. Fenomena kebosanan ini saya amati cukup sering terjadi di kalangan teman2 PhD juga.
Solusinya: kita juga harus pintar2 memberi reward pada diri kita. Sempatkan mengerjakan hal lain yang disukai. Baca buku fiksi. Nonton bola. Telpon keluarga. Family time dengan pasangan. Karena waktunya fleksibel, kita bahkan bisa kosongkan 1-2 minggu full untuk kabur sejenak.
Challenge 6: tidak pede dengan topik riset. Ini sepertinya penyakit yang sewaktu-waktu bisa datang tanpa diduga. Is my research novel? Is my methodology good enough? Am I doing it right? Jangan2 kita mempropose sesuatu yang sudah disolve sebelumnya dengan lebih baik.
Kayaknya saya disergap pertanyaan2 semacam ini tiap beberapa bulan sekali. Bahkan ketika supervisor meyakinkan saya bahwa progress saya oke tetap saja kadang saya tidak pede dengan penelitian saya. Susahnya, progress PhD tidak bisa benar2 diukur secara kuantitatif.
Solusinya: presentasikan penelitianmu ke orang lain. Submit paper ke conference, presentasi, dengar saran dan masukan dari reviewer dan peserta lain. Seberapa novel ide kita, seberapa baik metodologi kita, seberapa oke kualitas writing/presentasi kita bisa diukur dari hal2 ini.
Challenge 7: nulis tesis sambil nemenin istri hamil+melahirkan tanpa keluarga. Yang ini berawal ketika istri saya alhamdulillah dinyatakan hamil di awal tahun ke4, saat saya hendak mulai menulis tesis. HPL nya dekat dengan deadline submit tesis.
Sebentar jeda dulu

Skenario ini sebenarnya sudah sempat kami bahas jelang menikah, jadi sebenarnya nggak terlalu kaget. Tapi tetep aja menantang menjalaninya. Hehe.
Sebenarnya, penulisan tesis saya hanya jeda 2 kali: sekitar 1 bulan di trimester kehamilan pertama dan 1 bulan jelang melahirkan hingga pemulihan istri pasca melahirkan. Sisanya, alhamdulillah tetap bisa produktif. Bahkan istri saya membantu plotting data untum tesis saya.

Di trimester pertama challengenya saat istri berada pada fase mual2. Usai kelahiran, challengenya ketika anak kena jaundice / penyakit kuning karena ada tongue-tied sehingga perlu dirawat dan disupport susu formula selama beberapa pekan.
Karena tidak ada keluarga, semua dijalani berdua, eh bertiga. Alhamdulillah meski sempat sama2 kurang tidur berhari-hari akhirnya anak sehat dan tesis pun berhasil disubmit beberapa pekan sebelum deadline.
Yang terpenting di sini adalah planning, kerja sama & saling pengertian dengan pasangan, dan mengoptimalkan waktu luang. Tentu saja juga berdoa dan minta doa keluarga agar dilancarkan semuanya.
Intinya: PhD memang tidak mudah. Akan ada tantangan2 di perjalanan. Akan ada naik-turun dan tikungan2 tajam, bahkan terkadang harus putar balik agar sampai di tujuan. Jadi, nikmati saja roller coaster bernama PhD ini! Semoga bermanfaat!