Apakah konsep aurat = bagian dari penindasan Islam terhadap tubuh manusia? Apakah tradisi Sati adalah wujud keberpihakan Hindu terhadap laki-laki? Dapatkah perempuan Jawa hidup sebebas perempuan Belanda?

Kali ini, Logos membahas Feminisme dalam Kajian Pascakolonial!

-A Thread!
Di Indonesia, wacana feminisme telah cukup lama masuk dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu ikonnya adalah RA. Kartini. Secara umum, feminisme tidak dapat dilepaskan dari ide Simone de Beauvoir.
Dalam perspektif de Beauvoir, konsep hijab dalam Islam serta Sati dalam Hindu adalah bentuk ketidakadilan terhadap perempuan. Akan tetapi, menurut Gayatri Spivak, kesimpulan semacam itu tidak dapat secara serta merta diambil dalam menghadapi perempuan di tanah bekas jajahan.
Spivak menyatakan bahwa perempuan Eropa dan perempuan India; perempuan Eropa tidak mengalami penjajahan, sedangkan perempuan India mengalaminya.
Menurut Spivak, jika seorang subaltern (pria) dibatasi kemampuannya untuk berbicara oleh wacana kolonial, maka subaltern perempuan terbatasi tidak hanya oleh wacana kolonial, melainkan juga budaya lokal yang patriarkis.
Dalam berbagai produk budaya, orientalis Inggris menyatakan perempuan India sebagai kaum yang patut diselamatkan dari kekejaman tradisi Sati.
Sati adalah suatu tradisi dalam Hindu yang mengharuskan seorang janda yang ditinggal mati suaminya, harus ikut membakar diri bersama mayat suaminya. Sati adalah pembuktian kesetiaan.
Sebaliknya, para tradisionalis India menyatakan bahwa perempuan India melakukannya secara suka rela sebagai bukti setianya pada suami; tidak ada penindasan apapun.
Nah, Spivak mempermasalahkan dua pernyataan tersebut, karena kedua pihak (orientalis dan tradisionalis) berupaya melakukan representasi terhadap perempuan India.
Bagi Spivak, tidak ada upaya representasi yang murni, kecuali ditunggangi nilai (atau kepentingan) tertentu.
Menurut Spivak, pernyataan para tradisionalis mengandung semangat konservatif atau tendensi mempertahankan tradisi lama. Maka dari itu, pandangan tradisionalis berupaya mempertahankan inferioritas perempuan terhadap laki-laki.
Kemudian, Spivak menilai bahwa pernyataan para orientalis bertendensi ‘memberadabkan’ masyarakat India. Dengan demikian, pernyataan orientalis tersebut berupaya menegaskan inferioritas budaya lokal terhadap budaya Eropa.
Dalam perspektif pascakolonial, tindakan para orientalis tersebut adalah tindakan eksploitasi nilai feminisme dalam rangka imperialisasi.

Dampak nyata dari eksploitasi nilai feminisme tersebut adalah sikap memandang bahwa tradisi Eropa lebih ‘maju’ daripada tradisi hijab & Sati.
Salah satu solusinya, diusulkan oleh Spivak, adalah membuat suara subaltern perempuan disampaikan, bukan oleh orientalis dan tradisionalis (laki-laki), melainkan oleh subjek subaltern perempuan secara langsung.
Solusi kedua, diusulkan oleh Jasmin Zine, adalah melakukan dekonstruksi terhadap fundamentalisme; bahwa kondisi patriarkis dalam islam hanyalah suatu tafsiran terhadap teks-teks agama, maka dari itu, perlu dilakukan penafsiran yang menyatakan kesetaraan gender.
Menurut Zine, tafsir patriarkis tersebut tidak lahir dari penafsiran yang netral (close reading), melainkan ada pengaruh kondisi sosial-politik tertentu.
Sumber:
1. Can the Subaltern Speak? (Gayatri Chakravorty Spivak)
2. Dilema Kajian Gender (Media Koentji)

Konten oleh @eaxxdr
You can follow @logos_id.
Tip: mention @twtextapp on a Twitter thread with the keyword “unroll” to get a link to it.

Latest Threads Unrolled: