Saya tidak perlu menambahkan kritik feminis thd film TILIK, yang sudah sgt baik disampaikan teman2. TILIK sebaiknya tidak dilihat sebagai masalah tunggal tapi gejala fenomena yang lebih besar: absennya perspektif feminis dlm metode berkarya, juga dalam medan produksi kebudayaan.
Penyingkiran perspektif feminis ke area ghetto “isu2 perempuan” menyebabkan banyak karya problematis & abai relasi kuasa. Problem ideologi gender, kelas, lokasi (pusat menatap pinggir) tak hanya tercermin di level naratif tapi juga laku kamera yg mempenetrasi subyek scr perverse.
Perubahan ekosistem seni butuh refleksi konteks penciptaan keseluruhan: Apa yang dianggap penting/ tak penting, dan mengapa? Film-film mana saja yang menjadi rujukan- apa yg dilihat dari sana, apa yg gagal dilihat? Moda konsumsi sebagai bagian dari proses kreatif perlu dibongkar.
Ini juga berarti bersikap kritis terhadap seniman & karya-karya yang dianggap sebagai panutan. Jangan persoalkan film TILIK saja. Kritik juga serangkaian karya lain yang mungkin jauh lebih berpengaruh sbg standar estetika, misal: representasi perempuan dalam film2 Garin Nugroho.
Ternyata kata “kritik” bikin alergi, apalagi “feminis.” Banyak yg tak paham saya sedang
bicara ttg medan produksi yg lebih luas. Ok, sekalian saya kenalkan kajian film berperspektif feminis asosiasi pengkaji film Indonesia (tak hanya diilakukan perempuan): https://kafein.or.id/filmgender/ ">https://kafein.or.id/filmgende...
bicara ttg medan produksi yg lebih luas. Ok, sekalian saya kenalkan kajian film berperspektif feminis asosiasi pengkaji film Indonesia (tak hanya diilakukan perempuan): https://kafein.or.id/filmgender/ ">https://kafein.or.id/filmgende...