Thread

Yg menang Pilpres sebenarnya siapa?" Demikian celetuk seorang kawan.

Dia rupanya heran, pendukung pemenang ga banyak yg dihire di penyelenggaraan pemerintahan.
Sisi lain, yg tadinya lawan malah dikasih panggung, mulai dr jabatan menteri, direksi dan komisaris BUMN hingga penghargaan Mahaputra Nararya.

"Gugatan nuraniku ini tercetus lumrah karena dulu-dulunya ga gini banget kompromi politiknya
Mengingat gimana sengitnya pertarungan di level akar rumput saat menjajakan jagoannya. Tak jarang, tanpa dibayar sebagian pendukung sampe rela pertaruhkan waktu, tenaga dan biaya bahkan nyawa karena konon sosok yg diperjuangkan menang adalah gambaran diri mereka: ndeso,
Tak diperhitungkan, bukan bangsawan, bukan bagian dr masa lalu, juga sederhana", demikian dia melanjutkan sambil seteguk demi seteguk kopi di cangkirnya habis direguk.

Sambil menarikan jari di layar HP kusimak celoteh sendunya tersebut sembari melempar senyum simpul.
Kamu kok senyam-senyum aja sih, Ven? Bukannya kmu tu paling cerewet ngomongin politik transaksional yang dalam banyak kasus merugikan akar rumput", katanya dengan tatapan bingung ke arahku.

Pelahan HP kuletakkan. Kuteguk kopiku, lalu kutatap matanya dalam-dalam.
Kawan..., Harusnya kamu itu paham bahwa politik punya logikanya sendiri. Kadang menabrak akal sehat, kali lain malah mengangkangi norma hukum dan susila. Politik sudah bukan media bagi para idealis mewujudkan negeri impian. Itu sudah menjadi semacam alat mengamankan kepentingan.
Jadi, tak guna diskusi tentang itu. Tugas kita hanyalah menyalak dari tepi gelanggang, kali aja didengar para pemain kalau bola yang mereka sepak-sepak itu sejatinya bom. Mereka dengar atau tidak biar mereka sendiri yang menunjukkannya yang penting jangan berhenti menyalak!
Aku, kamu, dan segenap netijen julid kan mampunya cuma begitu. Mau lewat batas? Ah, jeruji bui menanti", santai kujawab dia.

"Ya sudah Ven, kesimpulannya dalam politik tak ada sosok yang benar2 ideal. Adanya sosok yang harus pandai bikin deal, begitu?", desaknya.
Dengan apa bisa kubantah kesimpulanmu? Faktanya begitu, kan?", kataku sambil kembali menatap ke arah layar HP yang tiba2 berdering mendapat panggilan.

Sore kemarin kami habiskan kopi kami yang mendadak asin di lidah. Tak seperti bisanya.
Usia 75 th bangsa ini rupanya hadirkan kisah pilu soal konsistensi yang raib entah ke mana.

Kemilau usia intan republik ini pun seolah tak layak buat dirayakan. Benarkah begitu di dadamu???
You can follow @ABSetyono.
Tip: mention @twtextapp on a Twitter thread with the keyword “unroll” to get a link to it.

Latest Threads Unrolled: