ANAK BERBAKAT TIDAK BISA DIAJARI
(UTAS BAGIAN 1)
Sejauh pengamatan saya, anak-anak yang langganan juara melukis di masa kanak-kanak, apalagi juara lomba mewarnai, sangat jarang yang jadi seniman hebat ketika mereka sudah besar (*).
(UTAS BAGIAN 1)
Sejauh pengamatan saya, anak-anak yang langganan juara melukis di masa kanak-kanak, apalagi juara lomba mewarnai, sangat jarang yang jadi seniman hebat ketika mereka sudah besar (*).
Karena imajinasinya tidak berkembang sesuai hakikatnya, dan dipola secara sejak dini oleh pendidikan sanggar. Sehingga sepintas lalu memang gambarnya bagus. Tapi tidak ada beda antara anak sanggar satu dengan yang lainnya, atau kesan keseluruhannya, "seragam".
Dulu saya kenal dengan seorang pelukis cilik yang langganan juara, bahkan sampai mendapatkan prestasi internasional, dan pada waktu itu (tahun 1980-an) sudah hebat sekali bisa diliput TVRI.
Tapi tragisnya, test masuk ke Perguruan Tinggi Seni Rupa saja dia tidak lolos. Hari ini raib, tidak ada kabarnya, dan eksistensinya di bidang seni rupa pun tidak pernah terdengar sama sekali.
Itu pula yang menyebabkan saya tidak pernah mau menerima murid menggambar dengan usia di bawah 16 tahun. Karena.saya takut merusak kekayaan imajinasi di usia emas mereka yang sangat berharga.
Karena hakekat seni itu harus kreatif, unik, orsinil, dan imajinatif. Jika sesuatu menjadi seragam, sama antara satu dengan yang lainnya, ya sudah jadi kerajinan, atau mungkin militer, namanya, bukan seni.
Secara mental, anak-anak yang dipola dengan didikan semacam itu, karena sering menang pada saat lomba. Maka secara otomatis keputusan lomba (yang dilembagakan oleh panitia, dan memberikan kekuasaan) tersebut dianggap sebagai sarana untuk meneguhkan keyakinannya:
bahwa "gambar saya hebat, dan gambar yang demikianlah yang benar".
Cilakanya, jika hal ini sudah menjadi ideologi (keyakinan palsu) akan membuat sang anak yang belum kuat daya saringnya untuk menentukan soal benar-salah akan mandeg kemampuannya pada titik tersebut,
Cilakanya, jika hal ini sudah menjadi ideologi (keyakinan palsu) akan membuat sang anak yang belum kuat daya saringnya untuk menentukan soal benar-salah akan mandeg kemampuannya pada titik tersebut,
dan di level berikutnya, atau ketika mendapatkan pelajaran yang lebih tinggi dengan guru yang lain, "secara otomatis akan ditolak oleh alam bawah sadarnya".
Apalagi seni rupa merupakan samudra luas tersendiri yang mempersoalkan estetika dan imajinasi (kerja otak kanan), daripada soal benar-salah yang jadi ranah otak kiri)
Lebih jelasnya begini, dalam level anak-anak, gambar dia yang seperti itu memang bagus, namun ketika sudah dewasa, gambar seperti itu tidak akan mewakili ekspresi orang dewasa, dan akan dianggap sebagai gambar anak kecil
Tentu pembicaraan mengenai konteks faham "Naifisme" berada dalam ruang perdebatan tersendiri yang tidak bisa diabaikan.
Orang dewasa, pasar kerja, dan dunia seni rupa akan minta seorang seniman mempunyai kemampuan banyak hal,
Orang dewasa, pasar kerja, dan dunia seni rupa akan minta seorang seniman mempunyai kemampuan banyak hal,
entah itu gambar ilustrasi, kartun, lukisan realisme, pengetahuan akan alat dan bahan yang beragam, kemampuan memahami perspektif, cahaya, bayangan, anatomi, draperi, karakter atau orsinalitas visual maupun gagasan, dan sebagainya.
Bukan hanya merupakan gambar dekoratif tanpa dituntut pengaplikasian hukum perspektif serta dibuat hanya menggunakan pastel atau Crayon dengan gradasi warna yang berulang seperti itu-itu saja, dan susah dibedakan antara gambar perupa yang satu dengan lainnya.
Nah, faktanya yang sering juara dengan pola seperti di atas itu mayoritas tidak mau keluar dari zona nyamannya, dan ketika masuk ke perguruan tinggi, materi test-nya jauh berbeda dengan ketika lomba, alat yang wajib dipergunakan pada saat test-nya pun bukan Crayon dan Pastel.
Saya pun pernah punya peserta kursus yang seperti itu, dan mendidiknya menggambar bentuk, dari pertemuan satu hingga delapan, karena tidak mau merubah mindset-nya gambarnya tidak ada perubahan sama sekali, pada pertemuan ke sembilan dia frustasi, dan tidak pernah nongol lagi.
Seperti sebuah ungkapan, "supaya ilmu mudah masuk, diperlukan kerendahan hati". Jika mentalitas juara diiringi kerendahan hati untuk selalu belajar dan menerima serta melihat kemungkinan baru, maka sang anak akan lolos,
dan di masa depan serta punya peluang untuk berprofesi di bidang seni atau menjadi seniman besar.
Tapi seberapa banyak yang demikian?
Tapi seberapa banyak yang demikian?
Mentalitas umum yang terbentuk justru, ketika dia biasa juara lalu kalah, maka "dia akan mengidentifikasikan dirinya salah", situasi ini diperparah oleh ambisi orang tuanya yang selalu menuntut dia untuk jadi juara yang turut menyalahkannya juga.
Karena sudah tidak asyik lagi dan jenuh dengan melukis, maka tidak mengherankan jika di masa yang seharusnya mereka tampil dengan maksimal saat dewasa justru mentalnya sudah ngedrop karena sudah “eneg”, dan mengakibatkannya mogok untuk berkarya lagi.
Lantas apakah dengan demikian, berarti memasukan anak ke sanggar itu jelek? Ya tidak demikian juga. Ada juga sanggar-sanggar yang memang berorientasi pada mengeksplorasi potensi dan keunikan masing-masing anak, bukan memolanya dan mencetak mereka (supaya selalu) jadi juara.
Cuma saya yakin sanggar yang demikian muridnya sedikit, alias tidak laku. Karena repotnya, orang tua juga punya ambisi lain ketika memasukkan anak ke sanggar, yaitu hasilnya harus juara lomba, dan prestasinya bisa dipakai untuk mendaftar sekolah melalui jalur prestasi.
Rumit dan tidak sederhana memang. Situasi ini seringkali justru membuat si anak depresi dan tidak asyik lagi saat berkarya yang seharusnya merupakan ekspresi diri, karena diperlakukan sebagai objek (pemenuhan ambisi orang tuanya),
bukannya dididik selaku subjek yang unik, punya kesadaran diri, mampu menjadi diri sendiri, dan tumbuh dibesarkan dengan imajinasinya.
Pada hakekatnya anak berbakat itu tidak bisa diajari, karena kemampuannya sudah melekat dalam dirinya secara alamiah. Hal terbaik yang bisa dilakukan untuk mendidik anak yang berbakat itu adalah dengan memberinya stimulus (rangsangan) saja untuk mengasah potensinya tersebut.