Saya seorang pria. 8 bln pacaran saya diberitau oleh pacar saya kalau dia sedang hamil 1 bulan dan dia minta tanggung jawab. Saya tanggung jawab. Saat itu saya ingin jujur ke orang tua dia kalau dia hamil. Tapi dia melarangnya. Dia ancam saya.

(Based on my story)

-a thread.
Dan benar. Dia kabur dari rumah dan menemui saya. Kami LDR, berbeda kota. Saat itu saya sadar. Sangat bahaya kalau saya beri tau orang tuanya. Baru niat saja, dia memilih kabur. Takut juga ada apa-apa dengan kandungannya, atau mungkin bisa bikin dia setres.
Dua minggu dari situ. Kamu menikah. Kami menikah di kota saya. Saya mengerti kondisi keluarga mereka. Mobil saya, saya jual. Tabungan saya habis.
Ya buat nutupin aib yang bisa bikin 2 keluarga ini malu kalau orang lain tau kami sudah punya calon bayi.
Oh iya, saya tidak jadi kerja di jepang demi nikah dengan dia. Demi dia dan anak yang ada di perut. Saya nganggur berbulan-bulan. Tapi saya bisa cek USG, yang harganya lumayan setiap bulannya. Dan sampai akhirnya di awal bulan tahun ini. Saya dapat kerja.
Kebetulan kerjaan saya ada di kota dia. Jadi kami menumpang dulu selama 1 bulan di rumah orang tua dia. Sampai akhirnya kami mengontrak. Baru 2 hari tinggal di kontrakan. Dia ngerasain mules. Waktu itu jam 3 malam. Saya pun langsung bawa dia ke bidan terdekat.
Sampai di bidan, ternyata dia udah pembukaan 4.
“Mau sampai kapan kamu ga ngomong?” Kata saya sambil menuntunnya berjalan untuk mempercepat pembukaan. “Kalau dede udah keluar aja.”
“Ga bisa. Kamu ga bisa hadapi ini sendiri. Kamu butuh mereka.”
Saya izin dia untuk keluar. Tangan ini gemetar saat mencari kontak mertua di wa.
“Halo, mah..”
“Iya ada apa?”
“Gini, sekarang *** ada di bidan, udah pembukaan 4.”
Mertua kaget sekagetnya. Di ujung salam pun masih terdiam. Mau gimana lagi. Memang ini yang harus saya lakukan.
Tak lama. Mertua datang. Kaka, istrinya pun datang. Semua seakan baik" saja. Saya tunjukkan dia ada di mana.
Saya selalu menunggu di samping dia. Tangan saya dicakarnya efek menahan mulas. Saya ikhlas, kalau itu membuat dia lebih baik. Rambut dijambaknya. Aku pun merelakannya
Tiba-tiba ada pesan dari mama saya melalui wa. Oh iya, sebelumnya saya tidak lupa memberi tau orang tua saya melalui chat wa. Mungkin mereka sama kagetnya. Saya harap mereka pun jadi datang ke sini untuk melihat cucu pertamanya lahir.
Saya pun buka chat wa mama. Saya terkaget.
Mataku berkaca. Tertulis, “orang tua *** chat ke wa mama kaya gini.” Di lanjut capture wa chatannya. Dengan bahasa yang arogan. Intinya mertua saya minta tanggung jawab terhadap anaknya ini kepada orang tua saya. Di tambah kakak nya sempat menelepon ayah saya. Dengan kata-kata
tak pantas terucap. Ok, kakaknya di anggap berperan penting dalam keluarganya. Tapi lihat. Tetap kakak nya itu seorang anak. Ga bisa selevel dengan orang tua saya. Bahasa kasar, nada keras. Minta tanggung jawab.
Saya nikahin bukan tanggung? Sampai detik ini saya di samping dia.
Yang tidak habis pikir oleh saya. Kenapa harus dibahas sekarang? Saya ngasih tau semuanya. Biar dia ada power tambahan saat ngelahirin anak saya. Dia itu butuh dukungan. Kenapa tidak dewasa menepatkan kondisi seperti ini? Saat itu saya kecewa kepada keluarganya. Sangat kecewa.
Akhirnya. Jam 12 pas anak saya lahir dengan normal. Anak saya laki-laki. Rambutnya tebal mirip saya. Hidunya mungil mirip mamanya. Tingginya 4,3. Pola kukunya sama dengan saya. Kulitnya putih mirip mamahnya. Tak lupa saya mengazankan anak saya. Tak kuat, air mata saya mengalir.
“Alhamdulillah ASInya banyak bu. Anaknya normal, sehat.” Kata salah satu bidan saat anak saya pertama kali minum ASI.
Tiba-tiba ada chat wa dari papa saya. “Coba cek” dengan foto resi transfer. Saya malu rasanya minta uang ke orang tua. Beda aja rasanya kalau udah nikah.
“Nanti diganti pah, makasih.” Balasku singkat.
“Jadi ke sini engga pah?”
“Engga.”
“Kenapa?”
“Kondisi tidak mendukung.”
“Engga apa-apa pah, udah ke sini aja.”
“Setiap orang punya caranya sendiri untuk menjaga hatinya. Papa minggu depan aja ke sana, sekalian nyukurin dede.”
“Iya.”
Jam 6 sore. Dia sudah bisa pulang. Saya pun bergegas membereskan administasi. Cukup murah. Dan cukup melegakan.
Kami pulang ke kontrakan. Mulai lah awal-awal ketidak nyamanan saya muncul. Budaya-budaya yang harus saya lakukan, suruhan mertua. Contohnya,
“Itu bali kubur sama guci!”
“Jangan semuanya!”
“Pake kandang ayam gitu biar terjaga!”
“Kasih lampu!”
“Setiap mulai magrib harus nyala!”
“Bawa pisau simpan dekat bayi!”
Mulai kerasa rumah tangga saya berasa disetirin mertua. Di keluarga saya ga ada ritual seperti itu. Landasannya
saya melakukan karena saya menghargai budaya saja. Tidak ada kepercayaan lain.
.
Satu minggu saya kelelahan. Kerja, nyuci baju anak saya, nyuci baju saya, nyuci baju kerja saya, nyuci baju dia. Nyuci piring. Nyapu. Mandiin dia, dan ngobatin luka jaitannya. Anak saya nangis.
Saya senang. Sudah biasa juga di jepang dulu, pergi sendiri dan pulang sendiri selama 2 tahun.
Selama 7 hari saya mengurus semua. Kebayangkan kurang tidurnya gimana. Tenang, saya tetap menikmati. Saya baik-baik saja. Cuman kalau di tempat kerja suka ketiduran aja. Wajar.
Akhirnya, Nemi dan Kemi datang. Itu panggilan pengganti nenek dan kakek bagi orang tua saya. Katanya biar ga sama aja dengan orang lain.
Ternyata Nemi dan Kemi bawa Stroller. Bawa rujak malasya. Dispenser juga, sama kado parsel perlengkapan bayi dan beberapa set baju.
Ternyata mertua saya tidak datang saat anak saya dipotong rambut. Saya ga mau bahas juga, dan ga ada info juga dari dia. Jadi, semua berjalan seolah biasa aja.
Kemi(ayah saya) sepertinya senang sekali, pertama kalinya. Dan posisi anak saya itu sama seperti saya. Anak pertama dan
cucu pertama di keluarga. Tidak lama, Nemi dan Kemi pulang.
.
Ke esokan harinya. Saat saya menjemur baju. Mertua laki-laki saya datang. Dan menegur saya. “Papa mau ngomong.”
.
Saat itu kami duduk ber3. Saya, papah mertua, dan dia.
P: Papah sakit hati sama kamu, kenapa kamu ga bilang dari awal kalau *** hamil. Papa merasa tidak dihargai sebagai kepala keluarga. Kamu orang berpendidikan, s1, s2, kuliah di jepang. Masa engga mikir ke sana. Berasa disambar geledeg rasanya saat taut itu.
S: Ga bisa pah, saya harus jaga kondisi dia dan kandungannya. Dan saya mengakui itu salah. Semua itu ada penyebabnya. Dia pernah kabur saat saya baru niat mau ngasih tau. Gimana kalau dia setres, gimana kalau dia kabur lagi? Keguguran? Liat niat baik saya, bkn kesalahan sayanya.
P: Terus kenapa orang tua kamu yang tau duluan? Dan kenapa orang tua kamu boleh tau?

S: Bulan” awal pernikahan kamu tinggal di rumah saya. Selama itu orang rumah curiga dan nanya ke saya dan dia. Dia dan saya jujur kalau dia sedang hamil 5 bulan. Kenapa dia bisa jujur? Tanya dia
S: Kenapa kamu bisa jujur ke mama saya. Tapi ke keluarga kamu sendiri tidak? Orang tua saya juga ada niat mau ngomong dgn orang tua kamu, tapi kamu tidak memperbolehkan. Kenapa coba?

D: Ya aku kasian mana papa takut malu.(jawabnya terbata”)
.
Rada aneh sih alasannya cuman itu.
Mertua tetap membela anaknya. Walau jawabannya tidak cukup jelas menurut saya. Maksudnya. Kenapa? Apakah dia tau sifat asli orangtuanya? Atau apa yang sedang di sembunyikan. Sampai saat ini saya menulis. Tidak ada jawaban jelas dari dia soal masalah itu. Ilang aja gitu.
P: Soal kakanya dia nelepon ke papa kamu. Dia itu kakanya! Sakit hati juga dia!

S: Salah itu! Kalau dewasa. Kaka akan liat dia itu sebagai istri orang. Saya bukan pacaran. Saya nikahin dia. Biaya banyak dari siapa. Maaf, bukan memojokkan. Kalau mau ngorek” kesalahan pasti banyak
P: Pokoknya 40 hari dari kelahiran. Papa mau kamu akad lagi! Dan mau nanya kamu! Mau serius ga, lanjut atau udahan!
.
Saya kaget, ditambah kecewa. Kata-kata itu tidak terbayang oleh saya. Mertua saya menjadi pelopor ucapan FATAL. Ya ampun, gimana kondisi laki-laki..
yang kabur dari tanggung jawabnya ya. Saya aja yang menemani dia sampai detik ini saja ditanya seperti itu. Padahal saya tidak pernah KDRT, nafkah jalan terus, perbuatan zinah ga pernah. Kenapa mertua dengan lantangnya bertanya seperti itu. Kecewa. Banget.
Besoknya
Saya berdiskusi dengan dia. Tantang 40 hari akad lagi.
“Saya ga bisa, ingat engga bisa. Bukan engga mau.”
“Kenapa kamu engga bisa?”
“Kondisi, finansial. Udah ga usah, kecuali papahmu mengurus semuanya. Kalau saya yang urus, saya tidak sanggup. Jadi saya mau ngikut aja.”
.
Keluarga dia, saya katakan tidak dewasa. Kenapa? Saat saya menulis ini. Seluruh keluarga dan tetangganya tau dia hamil duluan, dan punya anak.
.
Keluarga saya dewasa?
Sampai saat ini hanya ada 4 orang yang tau. 2 orang tua saya. Dan 2 adik saya. Hanya segitu. Tidak ada yg lain.
Papa saya punya power cukup. Untuk menghadapi masalah ini sebagai kepala kelurga. Bisa dijaga omongannya. Karena ini aib. Aib mana yang boleh disebar luaskan?
.
Hari-hari saya lalui dengan kebahagiaan. Berharap dia cepat sembuh. Mata ini udah engga kuat, punya hutang tidur banyak
“Mah(panggilan saya ke dia), mama udh bisa mandi sendirikan. Bantuin papa nyuci baju, atau piring. Setidaknya jemurin baju cucian aja deh.”
“Aku juga kurang tidur! Emang kamu bisa nyusuin? Engga kan!”
Gimana ya, rasanya hati saya diinjak” oleh perkataannya. Luka, perih, dalam
Kalau saya marah. Saya tidur di sebelah motor. Kebangun karena sakit badan, karena tidur beralas sajadah aja. Saya kembali lagi tidur sebelah dia. Bangun tidur udah ga bete. Gitu aja kalau saya marah, ga berlebihan.
.
“Mah, besok papa ke (kota saya) ya. Kebetulan gajihan juga.”
Saya udah bilang dia. Sebelum pergi ada adiknya juga di rumah. Nyuruh juga buat mertua nginep. Biar ada temen. Ke ibu kontrakan juga nitip. Uang dapur udah saya kasih, uang bidan sudah saya kasih.
.
Alasan saya ke (kotasaya) buat nukerin motor. Ayah saya ngeluh motornya udah tua
Saya sebagai anak ngerti & harus berbakti

Sampai (kotasaya) saya ngabarin dia.
“Saya udah sampai. Lagi di depan toko. Kemarin nitip oleh-oleh apa?”
“Alhamdulillah pah kalau udah sampe mah, itu yang rasa keju pisang sama keju aja.”
“Ok”
“Makasih papa, cepet pulang ya pah.”
“Iya.”
Saat saya ingin kembali pulang ada pesan dari dia.
“Pah, aku kasih papaku 200rb dari uang yang papah kasih.”
“Hah buat apa? Kok ga konfirmasi? Kebiasaan kamu dilakuin lagi. Itu uang buat bidan. Kenapa ga pernah bilang hal yang kaya gini?” Saya marah, kesal, kecewa, lagi.
Kebiasaan dia itu banyak yang saya tidak suka. Contohnya ya itu. Pernah ambil uang di dompet saya buat orang tuanya saat saya tidur. Sering tidak konfirmasi saya kalau mau ngasih. Ingat, itu uang dapur, bukan uang jatah pribadi dia. Atau kenapa ga konfirmasi? Kan saya suami.
Kami berdebat. Saya marah, dia marah. Entah, saya hanya pikirkan gimana cara dapat 200rb lagi. Buat nutup uang bidan.
Kebetulan saya ada di kota saya. Saya jadi leluasa untuk bertemu teman saya. Alhasil saya dapat pinjaman. Dan saya langsung pulang.
Sampai kontrakan, saya liat sendal dia tidak ada. Lalu ibu kontrakan keluar.
“A sini.”
“Iya bu.”
“Ini kata neng nitip kunci kalau aa nya pulang. Dedenya mau nginep dulu di neneknya. Kata ibu mertua aa, kalau nyariin datang aja ke rumah. Gitu a”
Lagi, lagi, kecewa. Sakit.
Bahkan lelah perjalanan menghilang. Jadi luka di hati yang tercabik-cabik. Saya buka pintu kontrakan. Semua berantakan, bekas pampers di mana-mana. Kursi roda bayi tak ada. Keranjang bayi tak ada. Jemuran bayi tak ada. Saya tengok lemari. Tak ada sehelai pun baju dia dan bayi.
Semua dia bawa. Bahkan surat-surat penting dia seperti ijzah sekolahnya, dibawa juga. Yang bikin saya kaget juga. Buku nikah dibawa semua. Barang pribadi dia, dia bawa semua.
.
Saya merenung. Tak ada kabar dia ingin pergi. Salah apa saya sampai semuanya seperti ini. Sakit hati.
Semalaman saya tidak tidur. Rindu. Chat wa saya tidak di balas.
Biasanya kalau malam, anak saya selalu tidur dipelukan saya. Ya walau pun berkali-kali bangun minta susu ke mamanya. Tapi saya nikmati rasa lelah saya karena, kapan lagi saya merasakan hal ini. Belum tentu orang bisa
Ke esokan paginya. Saya bersiap datang ke rumah orang tuanya.
Tak berpikir siapa yang benar atau salah.
Saat itu saya berpikir, “Saya melakukan hal yang benar.”
Istri saya pergi dari rumah, saya cari. Saya akan datang ke orang tuanya. Dan saya tidak cerita ke orang tua saya.
Sampai rumah mertua. Saya disuruh menunggu. Terdengar suara di ruangan berbeda, “telepon papa, telepon kaka.”
.
Sepertinya akan ada orang yang datang selain mertua. Ya gpp, kalau mu jadi penengah tak jadi masalah.
.
Benar, pamannya datang. Dulu pamannya yang jadi salah satu saksi
saat saya dan dia menikah.
Dan mertua pun datang juga.
Saat itu kami duduk ber3, saya, papah dia dan paman dia.
.
Papah dia memulai pembicaraan.
Papah: Jadi kamu maunya apa?
Sekian kalinya saya kaget. Dan saya menjawab.
Saya: Pertama-tama tanpa mengurangi rasa hormat saya ke papa
ke om, yang harusnya bertanya ya saya. Ada apa? Apa yang harus diluruskan. Saya anggap ini maslah internal suami dan istri. Saya anggap ini masalah kecil, kalau bisa, saya anggap ini tidak ada masalah. Coba apa yang harus saya luruskan. Saya mau dengar.
Papah: Kamu ninggalin *** sendirian, bayi masih 1 bulan. Ga kasian kamu?
Papah tau dari *** kalau kamu gamau akad lagi 40 hari, kamu tuh zinah namanya.
Saya: Berapa kalai saya pulang selama nikah dengan dia? Berapa kali saya ninggalin dia pergi? 1x, dan hanya kemarin saja.
Tujuan saya baik, tukeran motor. Itu motor Papa saya juga. Mau bayar pajak motor juga. Mau bahagiain Papa saya juga. Walau pun hal kecil. Dan soal akad. Saya jelaskan, saya tidak bilang seperti itu. Saya bilang tidak bisa. Kalau saya mengurus semuanya. Papah sanggup?
Alhamdulillah, saya siap. Tapi catat, Papah yang urus semua. Masih ada hal yang paling urgent yang membutuhkan sebuah materi. Lalu, kalau Papah bilang selama ini saya zinah. Kenapa kepercayaan itu tidak tuntas untuk di lakukan.
Jangan sampai omongan papah itu hanya jekedar pembenaran dalil.
Memang manggil penghulu ga pakai uang? Makan kecil” yang kata Papah sampaikan engga pakai uang? Kalau Papah sanggup ya tinggal urus, saya ikut aja. Banyak pertimbangan saya yang saya pikirkan. Jadi jangan salah paham
Lalu pamannya memotong argumen saya. Melihat papah selalu berputar” dengan kata” dan pola yang sama. Saya mengerti kondisi papah seperti apa. Pamannya mengeluarkan dalil yang saya anggap terlalu berlebihan. Kenapa berlebihan, ini masalah kecil. Udah lah masalah dibuat kecil saja.
Papah: Ga butuh s1, s2, sekolah di jepang. Yang penting hati. Papah sakit hati sama kamu!
Saya: Dengan pendidikan, saya bertanggung jawab.
Dengan pendidikan, saya menikahi dia. Dengan pendidikan, saya tau etika ketika berbicara dengan orang yang lebih tua.
Manusia itu kalau udah mentok nyari kesalahan orang ga ketemu-ketemu. Kelebihan orang bisa jadi kesalahan. Dan saya merasakan. Orang tua saya kalau dengar bisa sakit hati. Orang tua saya ga pernah negur dia. Karena saya ga pernah cerita kekurangan dia. Salah dia. Teledornya dia.
Papah: *** bilang kamu, papah harus minta maaf ke kamu? Eh, papah itu orang tua. Ga ada orang tua minta maaf sama anak. (Terus balik lagi bahas yang sebeleumnya)
Saya: Sebentar. Kita cari inti masalahnya dulu. Jangan semua dibahas. Karena semua akn salah kalau kondisinya seperti
Saya tidak suka atas pertanyaan Papah. “Mau lanjut atau engga?” Sekarang saya mau tanya. Batasan mana orang tua berhak berbicara seperti itu? Apa yang membuat papah ngomong seperti itu. Kalau mau jahat, orang tua saya bisa jahat. Apakah orang tua saya bilang ke Papah.
“Kalau mau tanggu jawab! Tes DNA dulu!” Enggakan, engga ngomong gitu. Biaya persalinan saja, orang saya bantu. Ga usah ribut. Ga perlu sebuang pengakuan. Kalau mau jahat. Kalau menurut saya, pertanyaan Papah seperti itu jahat.
.
Semua terdiam. Mata saya berkaca-kaca. Kuat.kuat.
Saya: Nah ini. Mulai keliatan kan. Saya sebagai suami sudah mengingatkan. Jangan pernah masalah internal dikasih tau orang lain. Apa lagi orang tua. Jelas akan ada kesakit hatian. Wajar. Jadi yang salah siapa? Saya yakin saya. Jelas. Dia itu anak papah. Ini yang saya takutkan.
Begitu sempurnanya dia di mata orang tua saya. Karena saya tidak pernah cerita tentang keburukan dia.
.
Sampai beberapa jam kedepan masalah muter balik terus. Saya jawab iya dan maaf. Saya mulai mengerti takaran pembicaraan ini. Percuma saya ngomong panjang lebar juga. Percuma.
Setelah Papah dan paman puas berbicara. Dan menanyakan hal yang sama, “jadi kamu mau lanjut atau gimana?”
Saya menjawab, “tidak ada niat itu, bahkan pertanyaan itu adalah hal tang tabu menurut saya. Tapi, kalau papah butuh sebuah jawaban. Saya akan menjawab. Lanjut..
Akhirnya semua selesai juga. Selama pembicaraan ini. Tidak ada pembahasan kenapa dia kabur. Aneh. Padahal itu yang membuat masalah ini membesar. Yang ada boleh balik aja pembahasan diulang.
Oh iya. Yang jadi penengah itu pamannya. Walau pun dia saksi saat saya nikah. Tapi kurang
pas menurut saya. Saya tau latar belakangnya. Dia duda. Sampai ada blunder yang papa ucapkan. “Ga ada niatan papah nyuruh kalian cerai. Ga ada. Dan ga ada juga keluarga papa yang cerai. Ga ada. Ya kecuali paman ***.” Sumpah, saya ga kuat pingin ketawa.
Setelah saya pamit. Saya bertu dia di rumah uwa nya. Saya disambug baik. Dia lagi tidur bareng anak saya. Mungkin lelah. Saya pun ikut tidur. Baru saja rebahan. Dia bangun. Kaget. Lalu sedikit menjauh. “Hayu pulang.” Bisik saya. “Ga mau, mau di sini dulu.” Jawab dia.
“Oh gitu, berapa hari?”
“Ga tau.”
“Akua tanya 2x lagi ya.”
“Sampai kapan?”
“Ga tau.”
“Sampai kapan?”
“Ga tau.”
“Ok, oh iya. Saya udah data kerumah. Udah clear semua. Saya ditanya terus masalah kemarin. Saya jawab lanjut. Kamu maunya gimana.”
“Ga tau.”
“Ok. Tuh oleholeh saya bawa”
Saya mengerti kondisi dia. Saya hati-hati banget saat bicara dengan dia. Bahkn saya mau peluk aja, dia g mau. Kaya jijik gitu. Tapi gpp. Wajar. Mungkin masih kesal.
Uwa nya sama ceramahin saya. Tapi tetap, berat sebelah. Ga ada bahasan kesalahan dia. Terus aja bahasa kesalah saya
Saya mengerti. Ikatan darah jauh dekat ke dia. Wajar uwa nya tak membahasnya.
“Mah, jangan lama-lama ya di sini.” Ucap saya, sambil menggendong anak.
“Ga tau.”
“Oh iya mah. Bisa engga uang dapur dibagi dua. Saya juga harus bertahan hidup. Kan semua uang ada di mama.”
“Boleh.”
Waktu pun tak terasa, saya pun pulang. Ya harus kerja, buat cari nafkah istri dan anak.
.
Selama seminggu saya nanyain anak, dia pun tak lupa. Hanya saja terbilang jarang. Kalau diwajarkan. Ya wajar. Saya harus kerja. Masak sendiri. Cuci piring sendiri. Nyapu, ngepel, sendiri.
Akhirnya, 7 hari saya menunggu. Dia luluh juga. Dia ingin di jemput. Saya bahagia. Tak lama saya menelepon.
“Mah, dijemput pake motor aja ya. Kan kita ga ada uang.”
“Kasian dede, kamu tega?”
“Ya kan dede nya yang mau nginep di sana. Papah udah bayar kontrakan buat ditempatin”
(Sebenarnya ini buat pembelajar dia saja, pola sebab akibat. Contoh, karena kamu kabur dari rumah. Keadaan tau lagi ga berlebih. Pulang lagi pake motor. Nanti dede sakit ya itu karena kamu kabur dari rumah. Coba kalau engga kabur. Semua engga akan terjadi) pointnya itu sih.
“Ya udah engga apa-apa pah, pake motor juga. Besok ya jemput.”
“Ya kalau mau pake grabcar, pake aja uang dapur dulu.”
“Ga ada.”
“Hah? Habis?”
“Iya.”
Ya ampun, satu minggu abis. Lemes saya dengarnya. Gimana ya, ga habis pikir aja pokoknya.
Ke esokan harinya. Saya telepon dua pagi-pagi.
“Halo, mah. Udah siap-siap?”
“Gini, besok ada keuarga mau nengok.”
“Terus.”
“Halo. Iya ini uwa. Ga usah pulang dulu. Besok aja.”
“Hah? Gpp wa, sekarang aja.”
“Ga usah besok aja. Ada keluarga jauh mau nengok.”
“Ya gpp nengok aja ke...
kontrkan. Kalau memang mau nengok mah.”
“Tambah jauh nanti!”
“Justru itu kalau niatnya mau nengok ya tinggal ke sini aja.”
“Dibilangin engga usah!”
Saya sebagai suami. Merasa tidak dihargai. Pilihan saya, keputusan saya, tak ada arti. Kesal. Emosi. Tapi masih saya tahan.
Besoknya. Sama, alasannya anak saya sakit. Sampai mau ngadain pengajian. Dan saya sebagai suami hanya di kasih informasi. Seperti tidak ada lagi. Kebutuhan terhadap saya. Saya sedih, kecewa.
Entah omongan apa yang menghasuti dia, sehingga saya tidak menjadi peran penting lagi.
Saat saya pasrah kepada Alloh. Dia nelepon saya.
“Pah, jemput ya.”
“Besok?”
“Iya. Papah ke sini. Pake motor. Terus tunggu orang tuaku ya. Papah minta izin dulu.”
“Hah? Buat apa? Masalah apa lagi? Saya itu suami kamu. Hak saya jemput kamu. Kalau memang ada masalah kan kemarin...
sudah diluruskan. Saya sudah datang baik-baik. Apa lagi salah saya?”
“Hargai orang tua aku!”
“Hargai saya juga sebagai kepala keluarga, kalau gini caranya, buat apa akad kemarin. Ini semua masalah kamu buka aib suami kamu, selama ini saya tidak membahasnya. Saya merasa tidak ada
harganya di mata keluarga kamu. Ga ada minta izin kaya gitu. Saya ga mukul kamu, ngasih nafkah kamu, tidak selingkuh. Apa lagi masalahnya? Besok saya tunggu konfirmasi kamu minta jemput.”
Saya bingung dengan pola pikir keluarganya.
Dari situ, dia tidak ada kabar. Sekitar 7 harian. Sampai saatnya saya menelepon dia.
“Halo, mah.”
“Ya.”
“Selama ini saya ditanya keluarga kamu selalu jawab iya mau lanjut. Sekarang saya mau tanya ke kamu. Mau kamu gimana?”
“Maaf aku ga bisa lagi. Aku udah cape.”
Lemas dibuatnya.
“Terus dede mau gimana?”
“Aku akan urus dia, nyekolahin dia, didik dia.”
“Semudah itu kamu ngomong ini semua.”
“Gimana nanti aja. Aku udah cape sama kamu. Udah aku ga mau lagi ngobrol sama kamu.”
“Urus semua sama kamu ya.”
Semua seakan mimpi. Kesal. Ghabis pikir aja. Semudah itu?
Saat itu saya tidak punya gairah hidup. Kerja berantakan. Emosi tingkat dewa. Ga terima kenyataan. 3 hari berlalu. Saya menelepon orang tua saya.
“Assalamualaikum bu.”
“Wa’alaikumsalam aa. Dede lagi apa a?””
Sebenarnya, selama masalah ini ada saya sering menolah video call ibu.
Karena ibu, ayah dan 2 adik saya sering nanyain dede. Pingin video call sama dede lah, fotoin dede lah. Padahal foto yang saya kirim. Foto yang ada di album foto hp saya. Sedih sih ditanya terus. Apa lagi tetangga. “Dedenya belum pulang aa?” “Kemana dedenya aa?” saya tutup”in.
“Ada kabar dari *** ga bu? Chat atau telepon?
“Engga ada a. Kenapa gitu?”
“Sebenarnya bu, pas pulang dari sana waktu itu...”
Saya pun menceritakan semua dari awal dia kabur. Sampai ucapan menyakitkan itu terucap.
.
Orang tua saya kaget. Kecewa pasti. Dan ayah pun berkata.
“Ayah dan ibu pun sama. Tak ada harganya. *** atau keluarganya ga ada konfirmasi ke ayah tentang masalah ini. Bahkan anaknya ngomong itu aja ga ada tanggu jawabnya sebagai orang tua. Udah, diemin aja. Biar mereka urus sendiri. Memang semudah itu.
Diemin aja. Fokus kerja. Buktikan. Uang bisa d cari. Anggap ini musibah. Ada orang lain yang rumahnya kebakaran. Rumahnya kemalingan. Anaknya sakit butuh biaya mahal. Dan ini musibah buat kita. Jgn fokus masalah ini. Anggap saja angin lalu. Tdk ada jaminan besok tak ada masalah.”
Samapi detik ini, saya engga tau kabar anak saya. Wa saya diblock. Saya dengar kabar terakhir anak saya belum diimunisasi. Dan anak saya sakit. Entah sakit apa saya tidak tau.
.
Saat saya berbaring di kasur sendirian. Otak ini seakan pergi ke masa lalu. Saat di bilang,
“Aku telat PMS.”
“Kamu harus tanggung jawab.”
“USG ya yang, pingin liat dede.”
“Kamu harus cepet nikahin aku!”
“Dede loh yang minta.” (Sambil mengusap perutnya)
“Yang liat deh baju bayi ini, lucu ya.”
“Yey aku paling banyak, gpp, aku kan berdua sama dede.”
“Pah cepet pulang!”
“Usapin punggung aku pah.”
“Kaki aku pegel pah, pijitin dong.”
“Dede gerak terus, usapin dong pah.”
“Pah cepetan itu kecowanyamau terbang!”
“Pah laper!”
“Cepetan ngontrak ya pah.”
“Nih bagus kan buat lebaran.”
“Pah mamah ga kuat mules pah.”
“Pah, mamah sayang papah.”
Ya ini lah hidup saya. Saya tidak merasa sepenuhnya saya benar. Tak perlu saya berkata semua kebenaran saya. Ga ada artinya.
- Kami kurang edukasi dalam rumah tangga. Ini penting sekali. Walau sebatas tau hak dan kewajiban seorang suami istri.
- Emosional kami yang masih tinggi.
Sampai nanti saatnya saya dipanggil oleh pengadilan. Saya tidak akan menalak dia. Entah kenapa saya masih mencintai dia. Kasihan anak saya juga. Saya benci sebuah perceraian, sama seperti Tuhan saya yang membenci perceraian.
Terima kasih yang sudah mendoakan, ngasih semangat. Yang baca sampai sini juga terima kasih.
Buat yang punya masalah sama kaya saya atau bahkan di luar ini.
Semangat!
“Belum tentu orang lain kuat menghadapi masalah anda. Buktikan anda itu kuat.”
You can follow @pernahjadisuami.
Tip: mention @twtextapp on a Twitter thread with the keyword “unroll” to get a link to it.

Latest Threads Unrolled: