"Mas Kapan Mau Melamarku?"

Pertanyaan itu sempat membuatku terperanjat kaget, membalikkan duniaku, pandanganku, dan merampas banyak hal yang selama ini telah aku kejar. Tetiba aku yang biasa menatap langit, tertunduk lesu melihat ke dalam diriku sendiri.

Sebuah Utas. https://twitter.com/BangBrew95/status/1268306879081517056
Pertanyaan itu sebenarnya telah lama bermukim dalam pikiranku. Tapi entah berapa banyak upayaku untuk menghindarinya. Mulai dari menunda lulus kuliah, agar ketika di tanya aku punya jawaban yang menjadi dalil yang kuat, "aku masih fokus kuliah". cara ini cukup, berhasil meredam.
Tapi aku sadar, cara itu tak mungkin bertahan lama, kuliah harus selesai. Aku harus punya siasat lain. "Kerja/Karir di Luar Kota", OK. aku mencarinya dan mendapatkannya. Setelah itu skripsiku kugarap secara cepat. Semester 12, itu akhir dari kemahasiswaanku.
Setelah ujian skripsi selesai & lulus, aku kembali di serang pertanyaan itu lagi, kali ini bukan hanya dari satu orang, tp sahabatku-sahabatnya, dan bahkan dosenku turut andil "kapan melamarnya?". Aku tak berkutik. Pertanyaan itu mengikutiku bahkan sebelum toga kelulusan kupakai.
Saat acara wisuda aku gamang, menatap atap terop tempat para calon sarjana berkumpul, mereka tertawa dan bahagia, aku kembali menatap diriku, mencoba mencari jawaban dalam hatiku. Tapi kosong, sunyi, hanya detak jantung yang ku dengar, cepat dan kuat.
Selesai acara, waktunya ketemu keluarga, aku salami mereka satu, aku paksakan senyum sebahagia mungkin. Tiba-tiba gadis itu muncul, membawa bunga, mengucapkan selamat, auranya bahagia sampai kerudungnya tampak bercahaya. Dia pun turut menyapa keluargaku. Aku diam Bisu.
Paman dan bibiku tersenyum sendiri menatapku, lalu menatap gadis itu. "tolong pergi dulu, nanti aku temui" tapi suaraku tak terdengar olehnya, krn itu hanya dlm pikiranku saja. "Habis ini Iyan sepertinya sudah siap nikah, calonnya juga cantik". Pamanku memberikan serangan pertama
Aku hanya bisa tersenyum kala itu, senyum kutukan tepatnya. itulah pertama kali aku membenci pamanku.

NEXT.

Aku magang kerja, lalu aku diterima menjadi karyawan. aku senang, bukan karena gajinya, atau pekerjaannya, tapi karena kantor itu menawarkanku ke luar kota. Semarang. OK
Sebelum ke Semarang, aku menemui gadis itu. Aku minta hubungan kita putus. Baik sementara atau selamanya. Aku pasrash saja. Cinta... masih ada dan masih besar. "Kenapa putus..?" itulah pertanyaannya. Inilah aku katakan padanya ketika itu.
Pertama: "Aku akan pergi ke luar kota, aku bekerja di sana, aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku, tepatnya pada hatiku sendiri, dan ku pikir engkaupun akan sama seperti itu, sama-sama tidak tahu. Jadi aku tak ingin mengikat hatimu, dan membuat hatiku terikat"
Kedua : "Terkait pertanyaanmu tentang lamaran itu. Jujur aku tak tahu jawabannya, kamu bertanya tentang sesuatu yg aku sendiri belum pernah menanyakannya pada diriku. Jadi aku tak tahu jawabannya, dan krn itu aku tak ingin 'ketidak tahuanku itu' menjadi penghalang masa depanmu"
"Maksudnya gimana?"

"Intinya begini, saat aku di luar kota, aku tak tahu akan bertemu siapa saja, akrab dengan siapa, bisa jadi di sana aku mengenal wanita, yg kepadanya hatiku ternyata jatuh cinta. itu akan membuatmu merasa sakit. aku tidak yakin aku setia"
"Pun begitu sebaliknya, kamu bisa jadi akan bertemu seorang pria, yang padanya km juga jatuh cinta. Kita sama-sama tahu bahwa cinta bisa datang begitu saja, tanpa rencana dan kendali. Aku hanya tak ingin kita saling menyakiti sebab sesuatu yang kita tak punya kendali."
"Apa kamu sudah tidak mencintaku?"

"Kalau pertanyaan itu bisa kupastikan jawabannya, dan kamu tahu itu. kita sudah 6 tahun saling kenal"

"Kita kan bisa LDR?"

pertanyaan ini mengantarkan pada alasan selanjutnya.
Ketiga : "Aku dan kamu sama-sama punya jalan dalam hidup ini, kita tidak tahu apakah kita akan sampai pd tujuan yg sama. Krn itulah, aku khawatir nanti ada orang yang melamarmu dan itu baik bagimu, namun kamu menolaknya sebab masih menungguku. Sungguh aku bisa dholim karena itu".
"Kenapa...?"

"Sebab aku tak bisa memberikan jaminan masa depan kepadamu, tapi malah menjadi sebab bagi dirimu untuk melangkah ke masa depan. 'TAPI AKU YAKIN KALAU KITA JODOH. ALLAH PASTI AKAN MENYEDIAKAN JALAN YANG PALING INDAH UNTUK KITA BERSAMA".
Keyakinan itu begitu kuat dalam bathinku. Yaitu keyakinan bahwa "Allah yang mengatur jodoh kita" bukan keyakinan bahwa dia jodohku. Namun dalam kekuatan keyakinan itulah aku berharap jodohku adalah dia.

Sebenarnya kita ngobrol banyak dan panjang, tentang banyak hal.
Menjelang akhir perbincangan dia bertanya
"Apakah kamu berpikir bahwa aku terlan menekanmu?"

"Tidak, justru kamu telah menyadarkanku, tentang sebuah ruang (pernikahan) di masa depan yang kemungkinan besar aku melaluinya, sementara aku tak tahu apa yang ada di ruang itu"
Akhirnya kita benar-benar putus secara legowo. Tapi masih ada satu lagi alasan yang tidak aku katakan padanya, yaitu alasan bahwa keputusanku untuk putus dn pergi jauh adalah hanya untuk belajar bagaimana mencintainya secara tulus, mencintai tanpa jaminan bahwa ia akan aku miliki
Dan aku juga diam-diam berharap agar dia belajar hal yang sama. Mencintai sekaligus belajar melepaskan. Melepaskan karena dalam melepaskan itulah harapan kita benar-benar akan bergantung pada Allah.

Alasan itu hadir juga berkaitan dengan diriku sendiri. maksudnya begini.
Pada saat itu aku benar-benar tidak bisa membaca atau meraba bagaimana kondisiku sebenarnya. Aku bukan tidak mau menikahinya, atau tidak siap menikah dengannya, ataupun takut terhadap pernikahan. Tapi lebih tepatnya aku bingung tentang apa itu pernikahan.
Alasanku milih ke luar kota dan jauh darinya. Adalah justru karena aku ingin benar2 mengenal diriku sendiri, singkatnya mencari jati diriku sendiri. Jati diri yang bukan hanya berupa pemahaman filosofis, tapi pemahaman yang mendarah dan mendaging dalam sikap dn prilakuku sendiri.
Kedua, aku juga ingin belajar tentang arti pernikahan dan segala instrumen yang ada didalamnya. Baik berupa kewajiban, hak, adab, akhlak, tanggungjawab, sikap, prilaku, dan pemahaman secara lahir dan bathin. Dan dalam pencarian ini aku tak ingin dikejar sesuatu di belakang.
Next. Setahun di Semarang.
Akhirnya tak ada lagi yang bertanya "Kapan mau melamar" tapi kini pertanyaannya "Sudah Menikah apa belum?", "Kapan menikah?".
Selama berada di semarang, aku banyak bertanya tentang kehidupan keluarga, dan tema-tema, kasus-kasus rumah tangga dan segala hal yang terjadi didalamnya, kepada tukang becak, tukang ojek, sopir taksi, anggota DPR, orang kaya, pengusaha, hingga ulama.
Aku juga betanya kepada ibu pedagang tahu telor langgananku, kolega dan teman kerjaku perempuan yang sudah menikah, bibiku sendiri yg disemarang, serta teman-teman arisan bibiku yang setiap pagi ngerumpi masalah suaminya masing-masing. Aku pelajari persoalan yang mereka hadapi.
Lalu, aku sendiri membuat simulasi sikap dalam pikiranku, tentang bagaimana jika penghasilanku sedikit, jika istriku meminta uang belaja, jika anakku nakal, jika istriku marah, dan lain sebagainya. Aku mencari sikap-sikap terbaik untuk menghadapi hal itu dalam benakku.
Kantor manggil aku kembali ke Surabaya. Aku bertemu lagi dengannya. Dia masih jomblo. aku senang dengar kabar itu. Aku diajak berkumpul sama teman-teman dia ada juga di sana. Kita seperti biasanya. RINDU....SANGAT. Tapi aku belum selesai dengan diriku.
Usai pertemuan selesai "Kapan kamu melamarnya, dia menunggumu" bisik teman akrabku. "DEG"aku hanya senyum & menghela nafas panjang. "Doakan saja, semoga dia mendapatkan jalan terbaik yg membuatnya bahagia". "Tenang yan... kalau masalah uang kami siap bantu".

teman=udah menikah
Aku pulang, nginep di kos temanku. Sholat dan berdoa untuknya. Tanpa sadar aku menangis dalam doa itu. "Aku benar-benar berharap dia bahagia, dengan siapapun Allah menakdirkannya".

Ada info... Kantor memindahkanku ke Jakarta.

Aku pergi tak mengabarinya.
Aku hanya izin pada orang tua, meminta restunya, mereka merestuinya. Asal jangan menetap di Jakarta. ibuku gak rela. tak lupa aku menitipkan dia dalam doa ibuku. "Bu doakan gadis itu semoga bahagia" aku sengaja tak menambahkan kata "bahagia denganku", gak enak sama gusti Allah
Next. JAKARTA 2 Tahun.

"Jika kelak ketika aku sudah sudah siap menikah, dan dia masih singgel, aku akan melamarnya" itu janjiku pada diriku sendiri.

Di Jakarta, sembari bekerja, aku masih sama, belajar tentang wanita, istri, dan rumah tangga. Tapi kali ini yang lebih spritual
Aku mempelajari sisi bathin dari pernikahan dan keluarga, sisi yang tak tampak hikmah-hikmah dibalik perintah. Praktis aku kudu ngaji. di Jakarta banyak masjid yg menyediakan pengajian akhlak dan tasawuf.

Uniknya, Pak Kosku, selalu curhat tentang istrinya. ini banyak membantuku
Disamping itu, aku mengumpulkan uang mulai menabung untuk pernikahan, aku tak ingin pernikahanku jadi beban tambahan kepada keluarga. Gajiku tak seberapa, dibanding kehidupan Jakarta. Aku harus sabar, pelan terkumpul, hingga aku pikir itu sudah cukup untuk menikah di kampung.
Keinginan ku menikah mulai muncul, aku sudah percaya diri, uang sudah di tangan. Tapi... tiba-tiba sebagian uang itu dibutuhkan orang tua. Sisanya habis foya-foya tak sengaja. FIX modal menikah habis. Sementara keinginanku menikah semakin meningkat.
FIx Stres tak terbantahkan. Untung salah satu guruku main ke Jakarta. "Apa kamu menggantungkan pernikahanmu pada uangmu?". DEG. lagi. kalimat sederhana yang menyentak. aku sadar. Aku ternyata salah menganggantungkan sesuatu. Allah Ampunilah Aku.
Akhir tahun kedua di Jakarta, aku mulai gak kerasan. aku harus pindah ke Surabaya, pengajuanku di tolak kantor. aku harus cari alasan, tapi apa..? "keinginanku menikah". Ok. "aku mau menikah", ucapan itu mantab dan kuat. padahal pada saat yang sama dompet NOL.
masalahnya sekarang aku punya pertanyaan lain di benakku. bukan "menikah dengan siapa?" tapi "Menikah dengan yang mana?" aku dekat (bukan pacar) dengan beberapa wanita selain dia yang di surbaya. Akhirnya bingung lagi. Malam Jumat, aku ngaji mohon petunjuk.
dan pertanyaanya aku ganti "Siapa yang pertama kali aku harus ikhtiari (lamar)" Setelah sholat aku merenungi pertanyaan itu, sampai tertidur. Sehabis subuh. aku cari HPku, ada dua miscall tak terjawab dan 1 sms. ternyata "dia".
Sabtu pagi, smsnya isinya nanya buku. selama kita putus, kita masih berkomunikasi, standard formal persahabatan, hanya hal-hal penting, tidak tentang perasaan. kita tak pernah saling bertanya "apa kamu punya pacar baru" dan lainnya yg senada dengan itu.
Aku telphon balik. Aku menjelaskan beberapa hal terkait pertanyannya di sms. dia hampir menutup telpnya. Tapi mulutku tak bisa ditahan

"Kamu udah menikah?"
"Tunangan?"
"Pacar?"

"belum" jawabannya

"Gimana kalau kita menikah?"

"Pulang!, ku tunggu di rumah"

"Ok. minggu depan"
lalu pembicaraan kita tehenti, suasana dalam hatiku tiba-tiba hening. hanya detak yang terdengar. aku masih tak percaya itu. TAPI AKU BAHAGIA.

BISMILILLAH....INILAH WAKTUNYA.

Seminggu kemudian, hari jumat, aku pulang naik pesawat, saya butuh cepat. Minggu datang meminangnya.
Sabtu pagi aku tiba di Surabaya, aku telphon orang tua. mohon restu dan ridha. Akhirnya pembicaraan.
"Bapak tidak usah ke Surabaya, aku mau berangkat bersama dosenku, nanti pasrahkan aku pada beliau"

lalu. Pinangan, Lamaran, Pernikahan, terjadi dalam waktu 4 bulan.

END.
Catatan tambahan.

Pas mau meminang, melamar, dan menikah. Aku sama sekali tak punya uang tabungan, yg aku punya hanya keyakinan & kebergantungan pada Allah..

"Ketikan Allah Menghendaki Sesuatu itu Terjadi, maka Terjadilah" jangan pernah ragukan hal itu.
Terima kasih kepada

Guru, Keluarga, Sahabat wabil khusus "dia" yang bertanya "Kapan Kamu Melamarku?" ataupun "Kapan Kamu Menikah?" sebab itu, aku tersadar & memberiku inspirasi & energi bahwa ada satu ruang yg sudah saatnya aku masuki. "Ruang Bahagia Bersamamu Yg Sebenarnya" 🙏
Biar nyambung, bagi yang punya waktu senggang. https://twitter.com/lyanJibroil/status/1267826318839668736?s=20
Ternyata banyak yang penasaran, bagaiman pergolakan bathin "dia" ketika kita setuju untuk berpisah.....?

Tenang aku juga punya pertanyaan yg sama dengan saya, dan aku sudah pernah mencoba bertanya kepadanya, tapi "dia" hanya mengatakan :
"Aku dulu itu, gak tahu bagaimana, intinya aku sudah pasrah sama Allah dgn siapapun kelak aku menikah, tp aku ttp berharap kamu jadi jodohku" intinya dia sudah rela melepaskanku karena dia pun tidak ingin menjadi beban bg masa depanku.
"Saat itu aku juga memahami, bahwa keterpisahan kita itu sebagai sebuah proses bagi dirimu dan diriku, untuk mencari jalan masing-masing, jadi walau kita putus aku tak merasa sedih yg berlebihan, krn entah bagaimana aku masih merasa km milikku ketika itu"
"ya mungkin karena pikiranku sudah terbuka ya saat itu, posisiku kan sudah kerja juga. Jadi aku pikir inilah jalan bagi kita untuk memantapkan diri masing-masing, jadi ini ibaratnya bagian dari tangga dimana kaki kita harus menapak agar perjalanan terus berlanjut sampai ketujuan"
Km gak takut aku dgn perempuan lain?

"Ketika itu sih gak, ya mungkin pengalaman kita bersama sebelumnya membuatku percaya sama kamu. kita kan sudah sering putus, tp kan akhirnya nyambung lagi, nyambung lagi, di tambah lagi, aku udah benar2 pasrah itu. udah akh...!"

itu saja.
Penganten Baru https://twitter.com/lyanJibroil/status/1056053884240617472?s=20
lanjutannya https://twitter.com/lyanJibroil/status/1270858237659590656?s=20
You can follow @lyanJibroil.
Tip: mention @twtextapp on a Twitter thread with the keyword “unroll” to get a link to it.

Latest Threads Unrolled: