NEW NORMAL
.
.
.
Takut......?
.
.
.
cc. @lestari_leonita

Pernah ke Singapore? Ga kudu kesana juga untuk sekedar tahu gimana tabiat masyarakat kita yang tiba-tiba berubah jadi santun dan tertib.
Pingin yang aktual disekitar kita?

Belajarlah pada perokok yang tiba-tiba dalam satu kurun waktu yang singkat dimusuhin dan entah gimana caranya mereka berhasil dengan kebiasaan barunya.

Tiba-tiba mereka bisa tahu diri.
Itulah kodrat manusia, selalu punya cara membuat penyesuaian terhadap apapun yang menimpanya. Selalu ada hal baru yang harus dilaluinya meski kadang tak ingin.

Demikian pula ajakan Presiden untuk kita paham tentang makna bahwa hidup kita berubah sejak Covid-19 ini.
Hari-hari kita tidak sama lagi seperti kemarin. Ada kebiasaan yang tiba-tiba harus kita buang karena sudah tak sesuai lagi.

"Sulit?"

Pernahkah kita masuk pada situasi tak mungkin tidak harus mengambil putusan? Tak selamanya hidup selalu memberi kita kemewahan memiliki pilihan.
Hanya ada kanan dan kiri, lurus tak ada.

Kekanan ada kemungkinan kita akan kehabisan makanan dan pada akhirnya mati.

Kekiri ada banyak penyakit yang siap memangsa kita. Tak memilih, gak ada opsi itu.
Membuat warga tetap tinggal dirumah tanpa batas waktu yang jelas, pasti akan meruntuhkan negara.

Tak ada satupun negara mampu memberi makan warganya yang tak bekerja selama setahun penuh.
Mengajak warganya yang secara fisik kuat dan sehat untuk beraktifitas dengan skala terbatas dan mulai membiasakan diri dengan kebiasaan yang sama sekali baru, juga bukan jaminan akan menyelesaikan masalah dengan cepat.
Simalakama, pahit namun hanya itu pilihan yang ada. Disinilah kodrat atas ketangguhan kita sebagai penguasa planet selama empat juta tahun sedang ditantang.

Dulu, ketika Presiden memilih PSBB sebagai cara bagi bangsa ini berperang melawan virus tersebut, pro dan kontra terjadi.
Hujatan bahwa negara tak bertanggung jawab menjadi trending berhari-hari.

Benar dan salah pilihan tersebut bukan kita wasitnya.

Tak mungkin kita sebagai pemain akan sekaligus menjadi wasit.
Majalah The Economist Intellegence, bercerita lain, dia menilai Indonesia adalah satu diantara tiga negara yang dianggap berhasil. China dan India adalah dua yang lain.

Apakah fair penilaian itu, dapat terlihat dari bagaimana tanggapan invenstor.
Tanggapan investor, terwakili dari menguatnya mata uang kita. Rupiah menguat.

Beberapa hari yang lalu Sebuah studi dari CEOWorld menempatkan Indonesia pada urutan ke 4 dari 10 negara sebagai yang terbaik bagi investasi untuk tahun 2020.
Studi ini merujuk pada lingkungan investasi dan bisnis. Disana masalah korupsi, tenaga kerja, perlindungan terhadap investor, infrastruktur, pajak, kualitas hidup dan kesiapan teknologi adalah apa yang menjadi dasar penilaiannya.
Singapura, Inggris dan Polandia adalah tiga negara yang mengalahkan posisi Indonesia.

Selanjutnya India, Australia, Filipina, Amerika Serikat, Malaysia dan Republik Ceko dan Iran berada di posisi 10.
Dan secara luar biasa, Rupiah dalam tiga hari terakhir ini menempati urutan tertinggi sebagai mata uang paling perkasa di dunia justru setelah ide dan gagasan Presiden Jokowi yakni istilah New Normal diperkenalkan.
Sekali lagi, saat kita sebagai warga justru ragu, mereka, para pemilik modal memberikan penilaian positif terhadap langkah yang diambil Pemerintah Indonesia.

"Apakah itu tanda baik?"

Tak ada mata seawas dan setajam mata elang saat berburu.
Tak ada penciuman sesensitif hidung anjing bagi petugas imigrasi saat memeriksa bawaan penumpang di bandara.

Demikianlah tak ada yang sejeli dan sesensitif naluri milik investor bila itu berhubungan dengan keuntungan.
Mereka telah mengendus bahwa Indonesia adalah tempat tepat bagi investasi demi meraih keuntungan bisnisnya.

Tak ada yang dapat mengalahkan insting mereka.

Jangan membandingkan penilaian seperti ini dengan para politisi, apalagi seorang Mardani dan kawan-kawannya.
Narasi orang-orang sekelas dia hanya tentang sejengkal jarak dari perut saja.

Bukan tentang uang dan investasi yang akan kita beri harga lebih mahal dibanding nyawa warga negara, ini adalah tentang keharusan memilih arah ke kiri atau ke kanan.

Keduanya sama-sama tidak mudah.
Seandainya para investorpun tak pernah hadir sebagai petunjuk, Presiden harus berbelok kanan ketika politisi macam itu memintanya belok kiri.

Sudah sesimpel itu.
Ya...,New Normal tidak lebih dan tidak kurang adalah jalan buruk yang tetap harus kita ambil karena harus, namun disana bukan tidak ada kebaikan dan keuntungan.

Disana masih ada harapan kita melawan dibandingkan hanya dengan menunggu.
New Normal adalah paradigma baru tentang apa itu hakikat sebuah kenormalan.

Dimasa lalu, normal adalah tentang kita yang cipika cipiki saat lama tak bertemu.

Dimasa lalu kita cium tangan sebagai tanda hormat.

Dimasa lalu kita tak harus sering-sering cuci tangan.
Kita akan dan harus berani memulai suatu yang baru. Kedekatan personal kita mungkin akan lebih terhambat, namun itulah dunia setelah Covid-19 ini.

Dunia memang akan berubah dan kita harus mengambil itu.
Benar...,kita akan sedikit terpaksa memgambil hal itu demi kelangsungan hidup kita. Hanya butuh usaha membiasakan diri saja.

New Normal bukan jalan yang menyenangkan, namun itu jalan terbaik yang kita miliki.
Bukan hanya kita, seluruh dunia secara perlahan akan mengikuti langkah kita.

Haruskah kita berdebat....?
Menunggu dan menyongsong adalah dua peristhiwa dengan obyek yang sama.

Saya sih lebih senang menyongsong bila kematian adalah akhir dari semua ini kita.

Apa pilihanmu.....?
.
.
.

@Lestari_leonita
You can follow @__MV_llestari__.
Tip: mention @twtextapp on a Twitter thread with the keyword “unroll” to get a link to it.

Latest Threads Unrolled: