Mau bahas ini ah. Ini analoginya ga pas utk masalah Lockdown atau tidak. Apalagi dengan cepat menyebutnya sebagai post-hoc fallacy. Sebelumnya, perdebatan lockdown atau tidak ini terjadi diranah scientist. Artinya tdk semua ilmuwan tdk sepakat soal lockdown akan berhasil https://twitter.com/anshory72/status/1263487514154680326
Model Imperial college ini kemudian jauh lebih populer karena memprediksi angka kematian yg fantastis. Seperti yg kita ketahui, model ini yg kemudian digunakan oleh pemerintah UK utk mengubah strateginya. Model Imperial ini jg yg kemudian yg digunakan oleh banyak negara didunia
IMHO, BoJo akhirnya mengambil langkah sesuai usulan model tsb dan bahkan mengangkat Ferguson sbg head adviser pemerintah dlm menjalankan strategi tsb murni karena tekanan publik. Model Imperial lebih kena ke system limbic masyarakat. Rasa takut lebih mudah membuat orang bereaksi.
Selain rivalitas tersebut ada banyak lg leading scientists yg jg tidak percaya Lockdown adalah sebagai langkah yg tepat. Nama2 seperti Johann Giesecke, Michael Levitt & Karol Sokora adalah contohnya. Ya, ilmuwan itu tidak monolitic, tidak selalu satu suara, termasuk soal lockdown
Kembali kebahasan soal mengatakan lockdown ataupun PSBB tdk berhasil adalah sebagai Post hoc ergo propter hoc atau Post Hoc Fallacy. Analogi yg digunakan dari lecture tersebut tidak tepat. Karena hampir tdk ada ilmuwan yg berusaha membandingkan before and after dlm konteks LD ini
Perbandingan yg sering digunakan adalah perbandingan antara negara2 yg mengambil langkah lockdown dan negara2 yg tdk, atau kalau berdasarkan term Prof. Azis tsb perbandingan with and without. Ada beberapa contoh negara2 yg tdk Lockdown seperti Taiwan, Jepang, Hongkong dan Sweden
Memang yg tdk melakukan Lockdown sangat terbatas, sehingga sulit melakukan komparasi empirik. Tapi jika menggunakan nagara2 tersebut sbg control data, maka kita akan lihat tdk ada korelasinya antara lockdown dan flattening the curves. Peru dan India adalah contoh bagus soal ini
Jika dibandingkan, negara2/daerah otonomi yg tdk melakukan lockdown td (Taiwan, Hongkong, Jepang dan Macau) jauh lbh berhasil mengendalikan laju infeksi. Meskipun ada banyak negara2 yg melakukan lockdown jg berhasil melandaikan kurvanya. Tapi yg belum berhasil jg tdk kalah banyak
Disini yg digugat oleh ilmuwan2 tersebut adalah Lockdown ataupun tdk kurva penularan akan cenderung sama. Sementara Lockdown sendiri memiliki konsekuansi, yg menyebabkan kematian jg. Sehingga pertanyaannya adalah apakah sepadan strategi lockdown dgn konsekuansinya ini diterapkan?
Lalu kenapa yg jd bahasan disini adalah antara before and after? mungkin saja karena ada banyak negara2 yg saat ini memutuskan melonggarkan LD nya meskipun kurvanya belum landai. UK adalah salah satu contohnya. Kira2 ilustrasi utk UK seperti gambar berikut ini.
Klo dilihat dari grafik tersebut, setelah stay at home order pada tgl 23 Maret, grafik laju penularan masih naik dan plateau sejak April 11. Pdhl di UK tdk semua orang bisa di test. Tgl 11 May kemarin pemerintah UK mengubah statusnya jd Stay Alert. Ini yg lumayan membuat heboh
Perbedaan stay at home dan stay alert adalah, pd status stay at home kita memang masih bisa keluar. Tetapi kita tidak diijinkan ketempat2 yg sifatnya recreational seperti ke taman atau park utk berjemur, piknik dsbnya. Pada stay alert ini kita malah didorong utk melakukan itu
Perhari ini berarti sudah 10 hari lebih masy UK dlm pelonggaran PSBB mereka. Kurva penularan masih belum menunjukkan tanda2 akan terjadi lonjakan seperti yg banyak dikhawatirkan orang. Malah kurvanya cenderung turun.
Lalu apakah fakta ini digunakan utk menyatakan lockdown tidak berhasil? sepertinya belum ada ilmuwan yg menggunakan ini sebagai evidence deh. Lagi pula dgn simply membandingkan antara negara2 yg LD dan tdk saja sudah cukup kok.
You can follow @amflife.
Tip: mention @twtextapp on a Twitter thread with the keyword “unroll” to get a link to it.

Latest Threads Unrolled: