—A Moral Thread—
Godaan
"Would you pick me up even the death tears us apart?"

Painting: Orpheus & Eurydice by Frederic Leighton 1864, loc. Leighton House Museum
Disclaimer: you might find a different version from this story, but all major conflicts are the same.
Happy reading, folks💖
Hari itu terik dan perkebunan anggur sedang lebat-lebatnya berbuah saat Orpheus melintas. Ia memainkan lyra dan kalau kau melihat lebih dekat… pohon, kerikil, dan udara bergetar karena musik yang ia mainkan. Ia tidak pernah gagal membuat lirik,
ia tidak pernah gagal menggubah irama, dan ia tidak pernah gagal memenangkan hati siapapun, semua makhluk tahu bahwa anak Apollo tidak dilahirkan untuk gagal. Tapi kali itu di Thrace, giliran Orpheus yang terpikat oleh sesuatu—atau seseorang lebih tepatnya.
Pada setapak di mulut hutan, jarinya membeku di atas senar. Di sana, di balik bayang-bayang pohon zaitun, Eurydice berdiri dengan kedua pipi memerah. Ini tanah para dewa, kau bisa jatuh cinta pada siapa saja tapi pada akhirnya pilihan harus dibuat.
Maka Orpheus mendekat dan menetapkan inilah awal dan akhir dari kehidupannya di Bumi. Nimfa inilah yang kelak akan menjadi tubuh dari segala puisi dan lagu yang ia buat.
Bagaimanapun mereka akhirnya menikah. Hymenaios, Dewa Pernikahan, yang juga merupakan saudara tiri Orpheus hadir untuk memberkati. Kumkuma, adas, dan cengkeh dilempar ke Api Suci untuk persembahan. Langit cerah pertanda Olympus sedang tenang.
Kemudian sambil tersenyum di atas altar, Orpheus menunggu Eurydice. Akan tetapi belum sampai kaki ramping Eurydice berjalan lebih jauh, tubuhnya ambruk. Semua hal, kecuali Orpheus seolah menahan napas.
Lelaki itu berlari menyongsong kemalangannya. Dingin dan biru. Kematian selalu datang melalui perihal dingin yang beku. Pengantinnya pergi, pengantinnya telah mati. Orpheus yang malang, Orpheus tersayang…
jauh dari kerumunan di dekat padang, seekor ular melata pergi dengan lidah mendesis.
Yang paling membuatnya hampir mati karena kesedihan adalah wangi kulit Eurydice yang masih membayang saat api melalap tubuh dingin calon pengantinnya,
tidak akan ada lagi desir peplum yang membalut tubuh Eurydice, atau mata Eurydice yang selalu mengingatkan Orpheus pada anak rusa… kini sudah menutup dalam asap kremasi.
Selalu ada cara, pikir Orpheus. Berbekal suara melenakan, lyra di tangan, ia tahu ke mana harus menentang dan menantang.
Di gerbang Dunia Bawah, di hadapan Hades dan istrinya yang selalu cemberut,
Orpheus berhasil mendapatkan satu negoisasi untuk membawa ‘pulang’ calon mempelainya. Eurydice akan mengikutinya dari belakang, ujar Hades. Tapi dengan satu syarat, Orpheus tidak boleh menoleh ke belakang apapun yang terjadi
sampai ia benar-benar keluar dari Dunia Bawah. Gampang, bahkan lebih gampang daripada menidurkan naga atau memecahkan sihir Siren, kukuh Orpheus.
Maka dengan kesepakatan itu, Orpheus melangkah mantap menjemput Eurydice.
Menuntun si mati agar sekali lagi mendapat kesempatan untuk hidup. Dalam Dunia Bawah yang apak, busuk, bau lahar, dan kegelapan, Orpheus melangkah sambil menenteng lyra.
Satu langkah lagi.
Perbatasan tinggal selangkah lagi dan yang harus ia lakukan hanyalah tetap menghadap ke depan.

Bagaimana seandainya kau diberi kesempatan seperti Orpheus untuk membawa satu orang terkasih kembali? Kuatkah kau untuk tetap berjalan dengan kepala tegak?
Atau kau malah goyah ingin mengintip wujud kematian yang ada di belakangmu?
Selangkah dan semuanya selesai. Namun godaan untuk melongokkan kepala ke balik bahunya sungguh tiada tertahan. Maka, seperti yang bisa kalian tebak, Orpheus menoleh.
Ia menoleh dan melihat arwah kekasihnya yang tampak seperti serat cahaya kusam dan transparan, kembali ditarik masuk ke dalam kematian. Meninggalkan wangi musk dan jeritan jeri kegagalan Orpheus.
Akhir dari Tuan Lyra:
Dikatakan bahwa sekembalinya dari Dunia Bawah, Orpheus sempat memohon Hades untuk memberinya satu kesempatan lagi. Permintaannya ditolak. Sambil meraung, Orpheus kembali ke Yunani tanpa membawa apa-apa selain renjana yang menyakitkan.
Lagu, puisi, suara lyra, semua yang datang kemudian hanya berupa melodi kepedihan dan kehilangan. Orpheus telah sepenuhnya berhenti membuat gubahan yang indah dan menyoal hati yang senang.
Efek domino dari keadaan Orpheus mengundang petaka baginya. Sekelompok Mainads yang cemburu dan iri akan besarnya cinta Orpheus pada Eurydice, akhirnya dikisahkan membunuh Orpheus.
Painting: Orpheus Leading Eurydice from The Underworld by Jean-Baptiste-Camille Corot 1861, loc. The Museum of Fine Arts, Houston
Moral of the story:
There’s so many lesson we can take from Orpheus and Eurydice tragic story. Tapi menurut saya pribadi sekurang-kurangnya ada tiga hal yang bisa dipelajari.
Pertama, nggak baik menyalahi kehendak dan aturan Tuhan. Sesedih-sedihnya kita ditinggal orang tersayang, nggak serta merta bikin kita punya hak prerogatif buat ngembaliin mereka dari kematian.
Cerita di atas memang mitologi tapi (mungkin) kita semua pernah membayangkan gimana seandainya orang yang paling kita sayang… bisa di-cancel kematiannya. Apakah keadaan akan lebih baik? Apakah rasa kehilangan bisa serta merta sembuh?
Ini yang saya tahu, setelah banyak sekali kepergian orang tersayang, saya nggak pengen bisa mutar waktu buat nego sama izrail, enggak, makasi… saya nggak pengen hidup sama hantu. Jadi sesuai dengan omongan August di The Girl in The Spider’s Web,
masa lalu itu seperti lubang hitam dan bisa ngisep kamu. Jangan dekat-dekat, biar kamu nggak ‘lenyap’. Masa lalu ada di belakang dan kalau kita terus hidup untuk masa yang udah kita tinggalkan… ujung-ujungnya kita malah hidup dalam bayang-bayang.
Poin kedua, jangan gampang tergoda pada apapun. Tergoda sama fakboi, tergoda rebahan mulu yang bikin kamu sepasif uget-uget, tergoda buat putih instan yg ujung-ujungnya bikin kulit kamu terpapar zat berbahaya,
tergoda berhenti di tengah-tengah usaha yang lagi kamu lakuin, atau tergoda untuk berhenti mengusahakan mimpi-mimpimu yang awalnya passionate banget buat kamu raih. A close friend of mine pernah berkata bahwa semua hal yang nggak selesai,
ujung-ujungnya cuma jadi sampah (walau waktu itu saya ngeyel bahwa apapun itu, termasuk sampah, bisa aesthete tergantung perspektif masing-masing orang). Orpheus hampir aja dapetin Eurydice kalau dia tahan buat nggak noleh.
Bukannya dia nggak sadar sama konsekuensinya, dia cuma nggak bisa nahan godaan. Rasa penasaran itu, let me tell you… punya daya tarik yang lebih kuat dari apapun. Penasaran pangkal dari godaan, catet.
Terakhir, lesson nomer tiga adalah belajar me-manage emosi dihadapan orang lain. Nggak baik terlalu mengumbar perasaan entah itu rasa cinta maupun kesedihan. Sebab kita nggak tahu respon dari society bakal gimana.
Mainads yang ngebunuh Orpheus bisa dijadikan perumpamaan bahwa nggak jarang, saat kita susah, bakal ada orang yang nggak suka sama kita trus ngajakin gengnya berjemaah dalam nertawain kesusahan kita. Kalau kita nggak tahu sih no problemo ya, tapi kan…
apa iya kita rela buat ngasih tahu orang lain soal vulnerability kita yang (amit-amit) suatu saat malah jadi senjata telak buat nyakiti kita?
Bukan berarti kamu nggak boleh berekspresi macem Kaonashi, sama sekali bukan, tapi semakin dewasa kita, paling enggak kita bisa nyoba buat mengupgrade fitur-fitur dalam diri seperti
pintar menata sikap dan ucapan, pintar mengolah segala macem emosi yang datang, dan pintar menilai situasi. Percayakan rahasia kesengsaraanmu/kebungahanmu pada segelintir orang yang kamu yakini bisa berempati dengan tulus dan
bikin kamu ngerasa bahwa nggak sendirian dalam menjalani semua itu, bahwa semua perasaan kamu valid, dan kamu selalu diterima terlepas dari keadaan apapun yang lagi kamu derita.
Sampai ketemu lagi di tulisan selanjutnya💖
—Heireina’spost, 13/05/20
You can follow @RainaJamila.
Tip: mention @twtextapp on a Twitter thread with the keyword “unroll” to get a link to it.

Latest Threads Unrolled: