STOP AHOK JILID 2
.
.
.

Pernah suatu saat dulu, doa seorang baik yang teraniaya berubah menjadi karma. Dalam rupa roh, kutukan itu melayang dan mengejar semua yang pernah dzolim padanya demi setimpal balasan.
Satu persatu mereka terkapar tak mampu menghindar. Satu persatu mereka tersungkur tak mampu kabur. Mereka terjebak dengan mata terbelalak.

Sia-sia duka dan tangis mereka teriakkan, iba bukanlah sifat yang dimiliki sang "karma".
Ibarat takdir, itu harus terjadi pada mereka yang zdolim.

Doa anak baik itu sangat sederhana, dia tidak marah apalagi mengutuk, dia hanya berucap GUSTI MBOTEN SARE.
Seharusnya, peristiwa itu menjadi rujukan bagi siapapun, bahwa kejahatan, apalagi dengan kesengajaan dan perencanaan, pasti berbalik menampar dirinya kembali, sekeras dia pernah lakukan itu kepada orang lain.
Namun kebanyakan dari kita adalah orang yang hanya memiliki ingatan pendek. Mudah kita lupa dan abai.

Terlalu sering kita pongah dan jumawa, apalagi ketika hasrat iblis bersatu mencekik norma demi menghela durjana.

Angkara murka meraja.
Demikianlah para manusia setengah dewa yang merasa lebih beragama dari siapapun dan mengira bahwa Tuhan adalah sama dengan apa yang dipikirkannya, kembali berulah.

Dengan pola yang sama, mereka melakukan keahlian yang lama telah dilatihnya.
Begitulah para pengecut, mereka senang dan bangga bersembunyi pada amuk dan marah massa agama. Mereka bersiap melepas seluruh azab durjana.

Luhut Panjaitan bukanlah Ahok. Namun sama dengan Ahok, luhut sedang membantu orang baik.
Kesalahan takdirnya adalah dia dipercaya dan sangat dekat dengan Jokowi.

Kedua, dia juga seorang minoritas yang menjadi pejabat di negara yang sedang sakit.

Itu sudah lebih dari cukup menjadi alasan bagi lahirnya kegilaan kronis stadium 4.
Ketika badai bencana datang, mereka, para gila kronis memiliki mata dan telinga berbeda.

Cara mereka mendengar dan melihat, sungguh tidak seperti kebanyakan. Bukan duka tapi suka cita merambat masuk ruang benak dimana setan kebencian menyambut dengan riuh tawa dan gelak.
Narasi tumpahnya darah minoritas mereka koyakkan pada rasa dada yang sudah sesak akibat bencana hanya demi membela rekan yang terancam.

Ancaman pada rekan adalah tanda bagi angkara dilepas. Kebencian diumbar seolah darah demi marah mayoritas kini berbau harum dan becita rasa.
Tanda sudah dilepas, kebencian kembali dihadirkan, peristiwa Ahok beberapa tahun lalu dipantik demi nyala kemarahan sudah dimulai.

Seorang Imam besar dari seberang samudra luaspun turut bernyanyi menambah ramai pikuk dan pekak genderang perang yang mulai ditabuh.
Satu persatu para petinggi iman menampakkan diri dan berteriak dengan suara garang "saya akan ikut serta..!!" tanda bahwa gerakan akan semakin besar.

Benarkah?
Luhut bukan Ahok. Luhut tidak perlu berdoa dengan cara seperti Ahok. Tak ada kutukan dan karma dilepaskan, Luhut cukup bilang "minta maaf atau saya lanjutkan..!!"

Salah besar mereka yang mencoba menggunakan isu murahan seperti itu dapat berlaku pada Luhut.
Seorang purnawirawan TNI AD dengan basic KOPASUS dan berpangkat jendral bintang 4, dari sebuah satuan elit negeri ini yang sangat ditakuti bahkan diseluruh dunia, tak sepantasnya ditakuti dengan cara seperti itu.

Itu hanya akan menjadi kudapan disaat ngopi bagi seorang Luhut.
Salah besar..!! Mereka hanya akan kelihatan seperti macan ompong dihadapan singa. Luhut tak akan goyah, Jokowi tak akan jatuh.

Kedunguan untuk mencoba membangkitkan cerita sukses masa lalu yang penuh ayat dan
mayat itu tak akan lagi mampu menyentak masyarakat hari ini.
Masyarakat sedang berduka. Bukan dengan cara seperti itu sehausnya mereka hadir.

Kemarin, masih ada tersisa rasa malu atas mereka yang hanya berjumlah 0.5% dari populasi negeri ini mau menyumbang 500 miliar.
Sementara mereka yang mayoritas dan kaya justru berlomba mengambil untung atas kedukaan ini dan sekarang ingin memantik kemarahan rakyat? Tidak.., rakyat tidak buta dan abai seperti mereka..!
Menjatuhkan Jokowi melalui isu minoritas seorang Luhut adalah isu murahan yang tak akan berarti apa-apa.

"Tebarkanlah semua kebencianmu..!! Buatlah.., ciptakanlah isu darah kapir..., maka darahmulah yang akan tumpah." Demikianlah kini rakyat akan berbalik berteriak.
Rakyat tidak akan percaya isu itu lagi.

Mereka para durjana itu hanya akan pulang dengan tangan kosong. Muka tertunduk, tatap mata layu dan mulut terkunci bak pecundang, mereka akan dipermalukan..!
Kini karma berjalan dengan cara yang lain. Dulu dia melayang dan menghampiri setiap yang dzolim. Sekarang, tamparan dan cemoohan rakyat langsung membuat hidup para durjana itu tak lagi memiliki harga diri.

Tak layak mereka menerima kebaikan bumi pertiwi ini.
Tak pantas bahkan meski hanya mulut mereka menerima anugerah dan nikmat hasil panenan bumi Indonesia, udara dari langit nusantarapun sepertinya tak lagi layak untuk mereka hirup.

Tak ada sedikitpun tersisa rasa syukur pada hati mereka, selalu hanya marah dan berharap darah.
Bukan seperti itu dulu kakek dan nenek kita meninggalkan warisannya. Bukan seperti itu pula ayah dan ibu kita mengajarkan cara hidup luhur nenek mereka.

Sepertinya, alam telah memanggil kita dengan bencana ini.
Ini adalah saat yang tepat..! Saatnya memaknai bencana ini sebagai cara kita mencari dan menemukan jalan pulang.
Mungkin disana masih akan kita temukan kearifan bangsa kita dengan kemanusiaannya dimana bahu membahu dalam suka dan duka sebagai sesama anak bangsa masih menjadi milik berharga kita.

Mungkinkah?
.
.
.
You can follow @__MV_llestari__.
Tip: mention @twtextapp on a Twitter thread with the keyword “unroll” to get a link to it.

Latest Threads Unrolled: