Jumat (25/10/2019), tepat pukul 14:00, Anwar Congo menghembuskan napas terakhir. Ia tutup usia pada 78 tahun di Rumah Sakit Madani, Medan.

Tapi siapakah Anwar Congo? Mengapa kematiannya diliput media? Apakah kalian pernah mendengar namanya?
[A Thread]
Hari itu, salah satu rumah yang berada di Jl. Sutrisno, Gang Sehari, Kec. Medan Area berubah menjadi rumah duka.

Terlihat rentetan karangan bunga ucapan bela sungkawa, secara khusus dari organisasi masyarakat (ormas) Pemuda Pancasila (PP).
Terlihat pula ada Wakil Gubernur Sumatera Utara Musa Rajekshah dan artis Sultan Djorghi hadir untuk sholat jenazah.

Setelah itu, dengan keranda yang ditutup dengan kain hijau dan renceng bunga, Anwar begitu ia biasa disapa, dimakamkan di tengah rintik-rintik hujan.
Ya, Anwar Congo terkenal di Medan, sebagai tokoh PP, yang sering dikenal sebagai ormasnya para preman. Ormas tersebut memegang peranan penting dalam pembantaian PKI pada tahun 1965 di Sumatera Utara.
Kisah hidupnya pun diabadikan dalam film ‘Jagal’ atau (The Act of Killing).

Seperti yang dikutip dari @idwiki, Jagal’ atau (The Act of Killing) adalah film dokumenter karya sutradara Amerika Serikat Joshua Oppenheimer.
Isinya menyorot bagaimana pelaku pembunuhan anti-PKI yang terjadi pada tahun 1965-1966 memproyeksikan dirinya ke dalam sejarah untuk menjustifikasi kekejamannya sebagai perbuatan heroik.
Yap, bagi Anwar dan para penjagal lainnya, upaya yang mereka lakukan merupakan upaya untuk menjaga keutuhan NKRI dan pencegahan PKI berkuasa di Indonesia.

Mereka termakan propaganda hingga mampu menghabisi nyawa seseorang, tanpa ada ampun.
Dalam film “Jagal”, Anwar mengakui justifikasi dan keberanian untuk membunuh ia dapatkan setelah kerap kali menonton film “Pengkhianatan 30S PKI” yang dibuat oleh pemerintah.
Lebih lanjut Anwar mengaku tidak semua korban harus dihabisi. Jika korban mampu memberikan uang, maka Anwar tidak masalah untuk membiarkan orang tersebut hidup.

Tetapi ya dengan pernjajian akan memberikan ‘uang jatah preman’ bagi Anwar dan teman-temannya.
Umumnya yang menjadi korban pemalakan tersebut adalah para masyarakat keturunan Tionghoa yang berjualan di pasar.
Pada awal dokumenter dapat dilihat bahwa mereka merasa tidak bersalah. Buktinya Anwar santai saja menceritakan. Lalu setelah itu pun Anwar terlihat hidup baik-baik saja, bahkan namanya semakin dikenal sebagai penjagal handal.
Namun, Anwar tidak menampik bahwa perbuatan yang dilakukan adalah hal salah. Jadi, agar bisa membatai ratusan nyawa (atau bahkan ribuan), Anwar melakukan penjagalan dengan berbagai persiapan.
“Menghabisi (nyawa) dengan gembira” begitulah Anwar menyebutnya.

Ia pasang musik favoritnya, meminum minuman keras, menghisap mariyuana, atau mengonsumsi ekstasi. Jadi proses penjagalan tidak ia rasakan berat.
Sambil bernyanyi, bermain gendang, dan gitar. Proses penyiksaan dan pembunuhan Anwar lakukan dengan suka cita.

Cara di video ini sih, bikin gue bergidik abis….. :(
Proses penjagalan diawali dengan menerima daftar siapa saja yang harus dihabisi. Namun, ada pula masa di mana Anwar juga turut memeriksa apakah seseorang terduga PKI tersebut layak dibunuh atau tidak.
Para korban diperiksa di gedung penerbitan koran Medan Pos, yang dimiliki oleh Ibrahim Sinik. Koran tersebut juga termasuk yang membentuk opini ke masyarakat untuk membenci PKI.
Setelah pembantaian mayat-mayat yang telah dbantai Anwar akan dibuang di Sungai Deli.

Coba simak video ini deh, biar kalian lihat bagaimana Anwar bercerita. :)
Selain merasa tidak bersalah, Anwar juga menolak percaya dengan narasi peristiwa 30S PKI hanyalah propaganda.

Anwar menganggap bahwa sejarah alternatif yang telah banyak diungkap merupakan upaya para keturunan PKI untuk memutarbalikkan fakta sejarah.
Menariknya setelah semua pernyataan bahwa ia merasa tindakannya adalah heroik, pada tengah film Anwar mengaku terkadang ia mengalami gangguan tidur. Lalu, pada saat itu akan teringat para korbannya.
Sempat ditawarkan ke psikiater oleh temannya, Anwar menolak karena merasa psikiater hanya untuk orang gila. Sedangkan Anwar merasa ia tidak gila
Proses pembuatan film dokumenter ternyata membawa kembali semua kenangan Anwar. Lalu mulai muncul empati Anwar terhadap para korban.

Maka pada akhir film Anwar pun menangis dan terpukul.
Bagaimana pun juga, sang penjagal telah berpulang dan siap mempertanggung jawabkan semua perbuatannya.

Anwar Congo memang pelaku pembantaian, tapi ia juga adalah korban dari propaganda tak masuk akal dari zaman orde baru.
You can follow @AQUBINAL.
Tip: mention @twtextapp on a Twitter thread with the keyword “unroll” to get a link to it.

Latest Threads Unrolled: